Rasa 75

331 28 8
                                    

Setelah beberapa hari masalah clear, aku menjalani hari hari di rumahku dengan seperti biasa. Hanya saja sekarang rumah yang kutempati itu sudah menjadi atas nama aku.
Aku juga tak tahu perjalanan bapak hingga sampai mengesahkan tanah dan rumah itu menjadi atas nama aku.  Untuk soal soal sedemikian rupa, aku lebih baik tidak tahu.

Hari itu, aku lupa harinya apa. Hanya saja di catatan ku sedikit ada kekeliruan sehingga aku berusaha untuk mengingatnya kembali.

Entah mengapa otakku jadi down sehingga menulis waktu dan tanggal yang tidak sesuai. Untung saja aku sempat memeriksa kalender.

Hari itu aku baru saja pulang dari pabrik sekitar jam 2 siang. Aku masih ada di teras melepas hawa panas yang ada di badanku.

Setelah beberapa saat aku menggelenter di lantai teras,  tiba tiba ada dua orang datang ke rumahku. Mereka adalah adik adik iparnya ibuku. Dua lelaki yang memang dari dulu selalu membahas harta.

Aku ditanyai soal harga rumah, harga tanah, atas nama tanah dan lain lain.  Ia juga mengatakan jika bapakku membeli dengan harga yang terlalu dibuat buat dan tak sesuai harga asli.  Padahal mereka sudah tahu, tanah itu bukan milik mereka.

Awalnya mereka berkata jika hanya mampir sebentar untuk minum sehabis dari kerja.

Kata katanya seolah olah memojokkan bapakku dan mempengaruhi aku untuk mengatakan hal itu pada bapak atau ibu.

Hampir satu jam aku berbicara di teras hanya soal tak jelas itu.
Walaupun tanah itu sudah diberikan namun aku sama sekali tidak ingin memilikinya karena aku tak mau punya beban.

Apa mereka pikir aku tinggal menempati saja?  Berhubung karena bapak sudah menyerahkan padaku, artinya akulah yang harus membayar pajak, mengurus supaya tidak jadi tanah mati dan merawat rumah yang berdiri diatasnya.

Karena perkataan mereka membuat aku emosi, akhirnya aku menelpon bapak secara langsung.  Namun ibuku jadi sangat marah mendengar hal itu.
Aku diminta untuk tidak menanggapi kata kata mereka.   Namun bagaimana aku tidak menanggapi? Mereka pun berkata seolah olah berhak atas semua yang sedang dibahas.
Baru saja beberapa hari diminta menanggungjawabi sebuah tempat, tak tahunya ada yang tidak suka dan mengusik.

Mereka memang sangat jarang bertemu sebelumnya sehingga tak pernah tahu karakterku ketika marah seperti apa.

Bahkan aku sempat mengancam akan membakar surat surat tanah itu jika ada yang kurang setuju.
Setelah telepon disambungkan ke pemilik tanah langsung, ternyata bapak tidak mengurangi harga yang ditawarkan sama sekali. Bahkan melebihkan sedikit karena sudah membuat urusan jadi mudah.

Ternyata, mereka bukan hanya sekali melakukan hal itu. Entah apa tujuannya, yang pasti memecah belah persaudaraan antara saudara bapak dan saudara ibuku.  Tak pernah suka jika ada seseorang yang menempati tanah milik saudara saudaranya.
Saudara ipar ibuku memang pada aneh aneh.

Tapi tak tahulah....
Aku juga tidak mau memperpanjang urusan beginian.  Karena emosi saja sampai aku mencatat dan membuat cerita disini.

Setelah emosiku mereda dan telepon diakhiri, mereka pun seolah olah merasa bersalah dan minta maaf padaku.  Semoga saja maafnya itu asli.
Mereka pun pulang dan aku berusaha menenangkan diri di teras beberapa saat lagi.

Tak sadar aku sampai ketiduran di lantai teras dan terbangun karena mendengar adzan ashar.

Badanku terasa berat dan mengantuk. Rasanya ingin berpindah ke sofa atau kasur namun karena mngingat jam sudah hampir sore dan masih punya kerjaan, aku pun memulai aktifitas dan memaksa mata untuk terbuka secara segar.

DUA NAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang