106. Head Chef

268 53 22
                                    

.
.
.


Sekembalinya Lisa ke Pennsville, Rosie balik ke rumah dulu. Menurutnya untuk menanti sampai hari pernikahan Alice, memberinya waktu. Setidaknya untuk memikirkan bagaimana baiknya kalimat yang akan digunakan dalam menyampaikan kabar ke Alice.

Sekiranya tidak membuat syok kakaknya itu.

“Sepertinya di hari pernikahan, tidak akan baik. Mendingan aku cari kesempatan saja. Kali Alice mau ngobrolin sesuatu gitu sebelum nikahan terus cabut ninggalin aku.”

Rosie menggumam sepanjang perjalanan. Dan sampai di rumah, Alice malah hendak bersiap pergi ke kantor. Melihat Rosie sekilas lalu tersenyum.

“Gimana? Kerjaan beres?” tanya Alice mengingat Rosie semalam izin menginap di studio karena harus menyelesaikan pekerjaannya.

“Beres..” jawab Rosie ragu.

Sebenarnya permintaan untuk bilang ke Alice jadi beban di hatinya. Berat untuknya menggores noda di wajah Alice. Dia adalah kakak Rosie, yang mungkin berharap Rosie tidak jadi seperti ini.

Tapi tidak ada yang tahu, kalau Rosie hanya diam dan takut untuk bertanya mengenai pendapat Alice.

“Ehm unnie. Mau ngomong bentar, ada waktu gak?”

Melihat raut wajah Rosie yang serius, Alice pun mematikan kompor dan menaruh telur setengah matang itu ke piringnya.

“15 menit sis. Mau ngomong apa dek?”

Rosie meragu lagi. Didekatinya Alice yang masih berdiri di depan kompor. Dengan takut takut tidak berani menatap mata Alice.

“Habis married gak mungkin tinggal disini kan kamu unnie?” pemanasan dulu lah, pikir Rosie.

“Ya, sekalian move ke Sydney sih rencananya. Kemarin aku juga sempat singgung masalah itu kan Rosie. You said, you’re okay with that.”

“I did.. I would be okay. Tapi kamu tahu aku butuh teman juga ya kan?”

“I..yaa.. Maksudnya teman apa? Teman untuk nemenin kamu di rumah? Atau teman hidup nih?” canda Alice sambil mengetuk jidat Rosie.

“Serius ini..”

“Iya iya sorry. Lanjut deh, sebenarnya kamu mau bilang apa sih Rosie sayang?”

Alice tau, Rosie tanya ini itu, tidak to the point, karena ada maksud dibaliknya. Ia menunggu respon Rosie sambil berkacak pinggang.

“Selama ayah dan ibu tidak ada, aku tidak pernah minta yang macam-macam padamu kan unnie.. Kita juga tidak bisa bersama-sama terus.. Ketika waktumu untuk menemukan pendamping hidup tiba, aku juga memikirkan hal yang sama.”

Alice langsung bisa menebak kemana arah pembicaraan ini. Dia pun masih diam, membiarkan Rosie menuntaskan kata-katanya.

“Jadi.. Aku akan sangat senang jika unnie menyetujui, dengan siapapun pilihanku nanti.”

“Ouh jadi ini soal orang yang sudah kamu pilih bukan?” tebak Alice.
“Ya.. Seperti itu lah..”

Rosie kembali menatap ke segala arah setelah selesai mengutarakan keinginannya ke kakaknya.

“Siapa dia? Apa sudah mantap?”
Rosie malah geleng geleng kepala. “Not yet.. Kamu akan tahu nanti.. Akan ada waktunya untuk memperkenalkannya padamu.. Tapi Unnie.. Please, forgive me if.. I'll let you down someday..”

Rosie meraih tangan Alice lalu berpaling, dan mulai jalan cepat menuju kamarnya. Meninggalkan Alice dengan beberapa pertanyaan di kepala.

“Ada apa dengannya? Memangnya pilihannya seburuk itu?”

Taste of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang