28. Chef Pierre

325 56 16
                                    

.

.

.


Lalisa Manoban




“Daddy?”


“Hai Lalice. Apa kabar nak?”


Rosie terlihat masih berdiri diam, karena Lisa juga terpaku di hadapan ayahnya sendiri. Sosoknya tinggi besar dengan rambut putih dan kacamata. Wajahnya sangat Eropa, berhidung mancung dan senyumannya sangat ramah, tidak lepas dari bibirnya.

“Lisa?” Rosie menyenggol lengan Lisa yang membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

“E-Ehm, yeah?”

“Itu ayahmu, kenapa kamu diam saja?” tanya Rosie yang masih memandang lurus ke arah ayah Lisa sambil bertukar senyuman.

“A-aku tidak tahu dia akan datang. Lebih baik kamu pergi kerja, tadi bilang sudah telat kan.” bisik Lisa. Lalu Rosie menganggukkan kepala. Dia melangkah ke depan dengan yakin bermaksud menghampiri ayah Lisa.

“Halo Lisa’s dad, aku teman kerja Lisa. Perkenalkan aku Roseanne Park. Nice to meet you sir.”

Rosie memperkenalkan diri dengan spontan, yang ternyata disambut baik.
“Nice to meet you too, Miss Roseanne. Aku Marco Pierre.”

“Saya pergi dulu kalau begitu, see you later mr Pierre. See you Lisa.”

Rosie yang memang sudah terlambat terburu–buru berkenalan lalu pergi ke ADVocaDo. Meninggalkan Lisa yang tak lekat memandangnya sedari berkenalan dengan ayahnya sampai menyeberang jalan.

“Jadi.. Mau sampai kapan aku dibiarkan berdiri disini Lisa?”

Lisa segera tersadar sudah terpaku lama di depan pintu. Dengan canggung dia mempersilahkan ayahnya masuk ke dalam.

“I’m sorry, aku hanya terkejut melihat ayah datang.” kata Lisa begitu mereka masuk. “Kenapa tidak mengabariku dulu?”

“Kalau aku beritahu, kamu tidak akan memperbolehkannya.”
Marco Pierre masih melihat-lihat, mengedarkan pandangan ke sudut-sudut ruangan cafe yang masih tutup itu. Langit-langitnya, mejanya, sampai akhirnya dia berjalan menuju pantry dan dapur. Lisa mengekor di belakang. Kebiasaan ayahnya selalu mengecek semua pekerjaan Lisa.

“Cukup bersih, kecil tapi nyaman. Good job nak.”

Lisa melirik tak percaya. Baru ini ayahnya tidak mengomel terhadap hal kecil dan sepele, seperti yang dulu ia lakukan.
“Thank you.”

“Ada apa di lantai dua?” tanya sang ayah sambil menunjuk ke arah tangga.

“Tempat tinggalku.”

“Boleh ayah ke atas?”

Lisa mengangguk. Dia lebih tidak peduli dengan apa yang akan dikomentari ayahnya soal apapun lagi. Jadi tidak ada Lisa yang panik, membenahi dirinya sesempurna mungkin demi tidak kena kritik.

Sampai di atas, Pierre menjelajah kembali. Menuju mini pantry dan kitchen, lalu membuka pintu balkon. Dia mengangguk-angguk sampai kembali ke depan pintu kamar Lisa.

“Buka sedikit ya.”
Lisa menghela nafas panjang, lalu membuka pintu kamarnya. Pierre hanya melongok sebentar, lalu pandangannya berhenti di beberapa pigura foto yang ditutup, ditaruh jatuh ke bawah. Lalu memandang Lisa yang ada di sebelahnya.

“Foto apa itu, kok dijatuhin?” tanya Pierre penasaran.

“Tidak, aku.. itu tidak selalu begitu kok.”

“Why? Fotoku ya?”

“Tidak, bukan ayah.”

“Lemme see.”

Taste of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang