31. Graveyard

300 59 22
                                    

.

.

.



Lalisa Manoban



"Phi, kamu benar-benar mau meninggalkan aku?"

"Apa sih Phan, ini kan demi masa depan. Jangan kayak anak-anak, ya memang masih remaja sih."

"Jangan bercanda kenapa? Aku serius nih."

"Sekolah yang benar, dan ambilah jurusan yang kamu suka kalau sudah lulus SMA nanti. Jangan seperti kakakmu ini"

"Janji kembali untuk mengajariku naik motor besar yang terabaikan ini ya."

"Iya iya, not for long nong. Love you."



.

.

.



Kotak obat terbuka dan berserakan di lantai. Pagi hari yang chaos untuk Lisa.

"Mimpi itu datang lagi.."

Lisa dengan segera mengambil butiran pil yang tercecer di lantai. Berjalan sempoyongan menuju pintu keluar. Ia menggapai gelas dan mengisinya dengan air putih, sebelum meminum 3 butir obat.

"Pasti karena tidak rutin lagi, seharusnya aku mencari terapis yang baru di sini."

Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Dan dia tidak membuka cafe karena keadaannya yang tidak memungkinkan. Lisa memberitahu karyawannya untuk libur, alasannya karena dia ada kepentingan dan tidak ada bahan yang ia tinggalkan untuk esok hari.

Jantungnya berdetak cepat. Keringat bercucuran tidak normal. Lisa mencoba bangkit namun dia terus menundukkan badannya. Sampai terduduk di lantai, berhadapan dengan meja pantry.

"Sudah cukup, aku tidak mau seperti ini lagi."

Sementara dia disana, karena tidak sanggup bergerak. Sampai akhirnya dia tertidur di lantai, sampai esok hari.



***



06.35 am


Lisa terbangun dengan pakaian yang sedari kemarin tidak diganti. Mungkin dia juga lupa untuk mandi. Lisa memegangi kepala bagian belakang yang terasa berat dan sakit.

"Ugh, jam berapa ini." keluhnya yang belum melek sempurna. Begitu melihat jam, ia bergegas menuju kamar mandi.

Hari itu tidak boleh tutup lagi. Sepertinya obat itu berhasil membuatnya tidur pulas. Dan itu sudah cukup.

Selesai membersihkan diri hampir 1 jam lamanya. Lisa berendam, luluran dan segala macam untuk menghilangkan bau depresi kemarin. Ia mengecek ponsel yang ternyata mati kehabisan daya.

Sambil menanti ponsel itu terisi, ia membereskan kekacauan di kamarnya. Sampai benar-benar bersih. Ketika sampai di jajaran bingkai-bingkai foto itu, ia ambil dan menaruhnya di laci.

"Benar kata ayah. Kalau tidak suka melihatnya jangan dipajang."



Taste of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang