20. Diavola Pizza

504 69 16
                                    


.


.


.



Lalisa Manoban



"Kenapa tidak pernah menghubungi ibu?"


"Ehm aku sudah memberi kabar ke ayah soal cafeku yang sekarang. Apa ayah tidak pernah cerita apa-apa bu?"


"Ayah kan jarang di rumah. Kamu kan yang seharusnya menghubungi ibumu ini. Biar galak, ibu juga bisa kangen padamu. Kalau tidak di telpon, tidak pernah menelpon."


"Oh ibu bisa rindu padaku juga. Aku kira rindumu hanya untuk anakmu yang satunya."


"Lalice..."


"Maaf bu, tapi aku harus kembali bekerja. Sudah waktunya buka cafe."


"Lalisa... Kapan pulang nak?"


" . . . "


"Kalau sudah siap."



.


.


.



"Kenapa harus menelponku di waktu yang paling membahagiakan dalam hidupku.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyebutnya lagi.

Maaf kan aku ibu..."



Lisa masih terdiam, termenung di balkon. Memandangi kantor Rosie yang berseberangan dengan cafenya. Hanya itu yang bisa dilakukannya ketika memikirkan Rosie. Walau tidak bisa melihatnya juga dari sini, tapi melihat bangunannya saja Lisa sudah merasa tenang.

Lisa berbalik badan dan masuk ke dalam. Melihat sofa yang kemarin menjadi saksi bisu dimulainya pergulatan romantis antara dirinya dan pujaan hati, jadi membuatnya ingin merebahkan diri di atas sofa itu.

Dilihat jam dinding pukul 9.30 pagi. Seharusnya dia sudah harus bersiap buka cafe. Tapi menggerakkan tubuhnya saja sulit. Lisa memejamkan mata. Pikirannya menerawang, jauh ke masa lalu.


"Teringat lagi.. Kenapa?



Kenapa harus mengingatnya lagi?"




***


Taste of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang