.
.
.
Roseanne Park
“Wah enak banget. Beli dimana dek?”
“Cafe baru kak, seberang kantor. Gak nyangka seenak ini.”
Rosie makan habis sandwichnya dengan lahap. Karena memang rasa makanan buatan Lisa sungguh tanpa cela.
“Besok mau sarapan disana ah, eh padahal aku belum tahu itu bukanya jam berapa. Hadeh harusnya aku nanya dulu kemarin ya. Aduh.”
Tingkah Rosie memang bisa seribut itu kalau sudah bertemu makanan enak. Begitu makanan habis, dia segera merapikan sisa makanannya. Begitu juga dengan remahan yang rontok di sekitar pangkuan.
“Loh katanya mau ngelesin anaknya tante Janet?” tanya Alice kepada Rosie yang malah datang ke kantor Alice. Padahal gitar sudah ditenteng dari pagi.
“Iya habis makan siang. Lagian bocah itu juga baru pulang sekolah jam 3 kak.”
“Ohh begitu. Untung aku lagi istirahat. Terus gimana perkembangannya?”
“Lumayan lah, yang penting ada bakatnya aja. Kalau gak ada, itu yang repot.”
“Repot gimana?”
“Ya lama aja, aing kan sibuk kak, kayak gak tau aja. Kalau bukan anaknya tante Janet, aku juga bakal nolak ngasih les les gitar. Mana anaknya itu ngajak temen-temennya pula.”
Rosie mengeluhkan banyak hal dikala badannya mulai capek. Dan itu hanya dilakukannya kepada kakaknya Alice. Kalau di depan teman-temannya sih selalu sok kuat.
“Huahah, kirain cuma satu orang. Ternyata rame.”
“Iya se RT, gak ding. Cuma tiga orang. Tapi kan satu itu agak susah kak, cewek, ngeluh jari-jarinya sakitlah. Ya kalau sakit kenapa gak belajar piano saja ya kan. Bikin kesel aja.”
Alice masih mentertawakan ekspresi kesal Rosie yang malah terlihat lucu.
“Kamu gak ngomong gitu sama si bocil?”
“Gile lu kak, kalau ngomong gitu, nanti aku dilabrak emaknya dong. Tahu sendiri kan, anak jaman sekarang lebih dimanja. Kalau gak bisa belajar, yang dimarahi gurunya bukan anaknya. Aneh nya dunia.”
Alice pun mengelus kepala Rosie. Membuat gadis pirang itu menengadah.
“Sorry kak, talk too much ya?”
“Gak apa-apa, kamu lucu aja dek. Tabahkan lah hatimu.”
Rosie tertawa kesal.
“Makasih loh, itu harganya 20 dollar. Transfer ya.”
“Serius?”
“Ya gak lah, becanda.”
Pipinya pun digencet Alice, saking gemesnya.
“Udah jam tiga tuh.”
“Iye, doakan aku bisa sabar ya. See you at home.”
Kemudian Rosie pun pergi berjalan kaki. Karena memang tidak jauh-jauh dari sana. Rumah mereka dekat dari kantor, ingat.
.
.
.
Paginya pukul 8.30 pagi, Rosie sudah mandi dan bersiap berangkat kerja jam 10. Dia pun iseng-iseng kepo. Kali aja itu cafe udah ada di gmaps atau ada sosial medianya.
“Ya kali 2023 gak buka sosmed. Atau website barang kali ada.”
Seserius itu Rosie menyukai sandwich penyet Lisa kemarin. Dia memang seorang foodies sejati. Kalau ada tempat baru dan ternyata makanannya enak, sudah pasti Rosie akan rajin menyambanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taste of Love
FanfictionKetika Lisa si tukang masak yang dingin dan anti sosial. Bertemu dengan Rose si tukang makan yang ekstrovert dan tidak bisa diam. Dimulai dari pelanggan, menjadi partner kerja, lalu teman dekat. Kehidupan yang kelam dan rahasia gelap berdiam di dal...