104. Merguerite

325 56 21
                                    

.

.

.




"Kok belum sebulan sudah kesini lagi sih?"

"Kenapa? Gak boleh?"

Rosie hanya tersenyum, lalu memeluk lengan Lisa untuk segera menyeretnya ke dalam taksi yang dari tadi menunggunya. Rosie menjemput Lisa di stasiun kereta.

"Gak gitu sayang, kan bilangnya see you next month. Ini mah two weeks."

"Ya udah aku balik lagi aja deh."

Rosie menariknya lebih kencang, sampai jaket Lisa melorot membuka bahunya yang lebar.

"Heish, gitu aja ngambek. Kamu makin cantik saja sih Chef." rayu Rosie yang beberapa langkah lagi sampai depan si sopir taksi. Yang sedang mencari angin di depan.

"Ini saja neng bawaannya?"

"Iya pak. Makasih." kata Rosie sembari menyerahkan tas Lisa untuk di taruh di bagasi. Rosie memintanya membawa baju seragam chefnya yang kece itu.

"Gak kangen kah?" bisik Lisa sebelum membukakan pintu untuk Rosie. Rosie tersenyum malu-malu.

"Kangen dong, pengen cium tapi banyak orang. Gimana dong."

Lisa jadi gemas, ingin cepat-cepat sampai ke cafe. Mereka langsung saja masuk dan otw ke Serendipity.



***



"Jadi nona Lisa, saya ingin mengajukan sebuah proposal untuk akun pribadi anda. Sebagai bahan promosi restoran anda yang akan dibuka 2 minggu lagi."

Rosie macak seolah sedang melakukan meeting dengan kliennya. Di cafe bagian bawah yang belum dibuka oleh Daniel yang masih molor di lantai 2. Lisa hanya terkekeh, sambil menyeduh kopi untuk nya dan Rosie.

"Iya? Promosi gimana itu?" tanya Lisa yang sebenarnya kemarin sudah dikasih tahu, sekalian menanyakan kenapa dia disuruh bawa-bawa seragam dapur segala. Alias chef jacket hitam itu.

"Jadi anda sebagai anak seorang Chef Pierre yang pernah dapat michelin star, tentu memiliki pengaruh besar di dunia perkulineran. Dunia makanan mewah. Seperti Chef Billie yang ternyata mengenal anda juga, nama anda sudah pasti dikenali oleh mereka."

Lisa menganggukkan kepala sambil menyodorkan es americano untuk Rosie.

"So.. Aku, eh saya ingin membuatkan anda akun pribadi tersebut. Untuk kebutuhan komersil."

"Hmm harus banget ya? Emang bisa pengaruh?"

Rosie pun meminum esnya dan merasa melek seketika. Lalu menopang dagu di atas meja pantry yang tinggi. Dengan gestur jari telunjuk yang meminta Lisa mendekat ke wajahnya. Lisa pun menunduk mendekat ke arah Rosie.

Rosie pun mencium bibir Lisa yang beraroma kopi.

"Tentu saja. Karena wajah anda itu sangat menawan. Sayang kalau tidak dipamerkan untuk menarik pasar."

Lisa malah tertawa cekikikan, sambil mengacak rambut pirang Rosie.

"Ih aku serius nih.." Rosie membenarkan rambutnya yang berantakan.

"Udah selesai nih mode meetingnya?"

"Udah.. Mau kan Li? Ayolah, ayah Pierre juga sudah menyetujuinya kok. Makanya kamu dibolehin pulang ke Melbourne."

Taste of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang