Setelah hukuman belajarnya selesai, Juna dipanggil untuk makan malam. Mama Papa dan kedua kakak Juna makan malam sambil memandang layar gadget masing-masing. Juna memandang mereka satu persatu, dia merasa terabaikan. Nafsu makannya seketika hilang. Dia bangkit dari kursinya.
"Mau kemana kamu?" Tanya Mama Juna yang langsung menyadari pergerakan Juna.
"Aku mau tidur." Jawab Juna dengan nada datar.
"Habiskan makananmu dulu." Kata Papa.
"Aku tidak lapar."
"Diam disana, ada yang ingin mama bicarakan."
Juna berdiri mematung di samping kursinya.
"Mama maafkan hasil ulanganmu hari ini, tapi jika hasil ulanganmu besok masih sama atau bahkan lebih buruk, mama tidak akan lagi memaafkanmu. Kau dengar?"
"Papa juga akan mengambil beberapa fasilitas agar kau lebih fokus belajar." Tambah papa.
Juna mengangguk lesu.
"Kau harus seperti kedua kakakmu, mereka rajin belajar. Lihat hasilnya, mereka dapat beasiswa di universitas terbaik negeri, dan dapat posisi terbaik di perusahaan." Kata Mama.
"Jangan kira kau anak bungsu, kami akan memanjakanmu, Papa dan Mama akan memperlakukan kedisiplinan yang sama seperti kedua kakakmu. Kau harus terbiasa dengan hal itu." Kata Papa.
Juna hanya mengangguk.
"Tidurlah, dan persiapkan untuk ulangan besok."
Juna melangkah ke kamarnya dengan lesu. Dia mengunci kamarnya, walaupun dia tau orangtuanya mempunyai kunci cadangan yang bisa membuka pintu kamarnya kapanpun.
Dia berbaring dan menatap langit-langit kamarnya. Lalu menutup matanya dan membayangkan banyak hal. Sesuatu yang sangat ia inginkan, membayangkan masa depannya akan seperti apa dan banyak hal.Lalu seakan ia teringat sesuatu,
"Sepertinya aku ingin menulis sesuatu."
Juna bergegas bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil buku tulis "rahasianya".
Ia menulis lirik dengan konsentrasi penuh. Sesekali berhenti untuk berpikir, lalu menulis. Berkali-kalipun ia menghapus dan menulis lagi.
"Apa ini terlihat seperti lirik? Hehehe.. aku pikir ini lebih terlihat seperti puisi. Ah.. itu karena aku belum mencari nadanya, aku akan cari nadanya sekarang."
Juna beranjak, dan mengambil keyboard piano bekas yang ia sembunyikan di ujung tempat tidur, itu pun masih ia tutupi dengan kotak-kotak barangnya.
Ia mulai memainkan keyboardnya. Lalu menulis nada demi nada, not demi not. Agar tidak terdengar, speaker keyboard ia tutupi dengan kain dan busa agar suaranya tidak terdengar dari luar kamar.
Saking asyiknya, ia tidak menyadari jika ada seseorang yang tengah membuka pintu kamarnya.
"JUNA !!!" panggil seseorang dengan sangat keras.
Juna terkejut. Bukunya jatuh dari genggamannya.
"M-m-mama?"
"Ooh.. jadi ini yang kamu lakukan setiap malam? Ternyata ini yang membuat nilai ulanganmu buruk setiap hari? Hah?"
"Nggak, ma.. aku nggak setiap hari. Aku.."
"Sini, kasihkan ke mama." Mama berusaha mengambil buku liriknya yang di sembunyikan Juna di balik punggungnya.
"Jangan, Ma.."
"PAPA..... !!!" Teriak Mama memanggil Papa, masih berusaha merebut buku Juna.
Papa datang.
"Ada apa ini?"
"Lihat ! Selama ini Juna diam-diam belajar musik dan menulis lirik. Kalau tadi aku tidak ada firasat kemari, aku todak akan pernah tau akal-akalannya dia." Mama menyodorkan buku Lirik Juna. Papa melihat sekilas lirik-lirik yang ditulis juna.
"Jadi lirik-lirik bodoh ini yang membuat nilai ulanganmu buruk akhir-akhir ini? Hmm? Mau jadi apa kau nanti dengan lirik-lirik bodoh ini? Pengamen?" Kata Papa dengan nada setenang mungkin, tapi Juna merasa jika Papa nya tengah marah besar.
Juna hanya diam tertunduk.
"Kenapa kau suka sekali menjadi berbeda dari keluargamu? Kau lihat kakak-kakakmu yang berhasil, apa kau tidak ingin mengikuti jejak mereka? Atau kau memang tidak ingin di anggap menjadi bagian dari keluarga ini?" Kata Papa berdiri tepat di depan Juna.
"Mungkin Juna ingin hukuman yang lebih berat lagi." Tambah Mama.
"Ooh.. haruskan hukuman yang kami berikan dengan mencoret namamu dari daftar anggota keluarga?" Ancam Papa.
"Jangan, Pa..." Kata Juna. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Biarkan saja, Pa. Biar dia tau gimana kerasnya hidup di jalanan. Biarkan Juna hidup dengan pengamen jalanan, berkumpul dengan orang-orang malas belajar."
"Begitu?" Papa duduk berlutut, agar bisa menatap wajah Juna.
"Aku sudah belajar, Pa. Aku janji akan dapat nilai bagus besok, dan seterusnya. Aku juga akan semakin rajin belajar."
"Sudah berapa kali papa mendengar kaya-kata seperti ini? Tapi mana? Nilai bagus yang kamu katakan tidak pernah ada lagi."
"Mama harus bagaimana lagi menghukummu? Hah? Kenapa kau selalu mempersulit mama dan papa? Susah sekali di kasih tau."
"Sekarang papa tanya, apa yang membuatmu tidak pernah lagi mendapat nilai bagus?"
Juna ingin sekali mengatakan bahwa terlalu banyak pelajaran yang di pelajari, terlalu banyak bimbel dan les privat yang semakin menekannya. Tapi dia tidak berani mengatakannya.
Juna memilih untuk diam.
Disisi lain, Papa melihat sekilas keyboard piano yang tergeletak di belakamh juna.
"Apakah alat musik itu yang membuatmu menjadi anak yang bodoh? Hah? Jadi anak yang malas?"
Juna langsung menangkap maksud Papa nya. Ya, keyboardnya !
"Enggak, Pa."
"Enggak? Seingat papa dulu kamu selalu dapat ranking, dan mungkin karna adanya alat ini kamu jadi malas belajar dan menjadi anak yang bodoh?"
"Tapi memang bukan, Pa."
"Masalah, harus di selesaikan sampai ke akar-akar nya."
Papa langsung berdiri Dan menyambar piano itu dan membanting nya dengan sangat keras.
BRAAAAKKK !!!
Keyboard itu hancur. Sama hal nya dengan hati Juna. Kaki juna terasa lemas seketika. Melihay keyboard kesayangan yang ia beli diam-diam, hancur tepat di depan matanya.
"Ma, bawa buku itu dan bakar di depan."
"Jangan, Pa.. Juna mohon jangan..papa sudah menghancurkan piano kesayangan Juna, Juna mohon jangan hancurkan buku Juna juga.. " Juna menangis berlutut di kaki papa nya.
Papa yany sudah terbawa emosi langsung memukul kepala Juna hinga Juna terpental.
"papa sudah habis kesabaran hanya karna kamu, Juna. Hentikan kebiasaan konyol mu ini. Tidak bisakah kau belajar dengan baik?" Kata Papa dengan nada yang mulai tinggi.
Juna hanya menangis sesenggukan.
"Kita lihat saja hasil ulangan besok, pa. Jika juna masih mendapa nilai buruk, maka hukuman akan semakin berat."
"Kenapa tidak sekalian coret saja dari anggota keluarga. Kita lihat, bagaimana cara dia hidup di jalanan dengan alat musik bodohnya itu. Menyusahkan saja." Kata papa. Dia langung pergi. Diikuti oleh mama.
Dan juan menangis, meringkuk bersama seluruh kesedihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN
Fanfiction~Kisah kami terlalu menyakitkan, haruskan kami menceritakannya kepadamu?~ Ya, kami hanya bertujuh. Hidup sebagai saudara. Nenek telah menyatukan kami sebagai keluarga. Setelah nenek pergi, kami harus menghadapi semua masalah bersama-sama. Akan kah...