Jey langsung menuju kamar mandi mengunci pintunya. Ia meluapkan amarahnya di sana.
"AAAAARRRGGGGHHHH !!!" Teriak Jey, diikuti suara tangis. Ia benar-benar menangis tersedu-sedu, bercampur dengan suara kran air yang menyala.
"Kenapa?? Kenapa ibu seperti itu? Apa aku benar-benar gak ada artinya untuk ibu? Apa aku sudah di anggap mati?"
Suara tangis nya semakin kencang, tapi tak ada yang bisa Tyan lakukan. Ia hanya diam mendengar curahan hati saudaranya.
"Dia bilang aku gemuk, gak bisa nari. Bahkan gak sedikitpun dia menganggapku anaknya. Apa aku sungguh jadi orang lain untuknya?"
Jey benar-benar marah dan kecewa. Ia terduduk lemas, bersandar pada bathtub. Ia mengeluarkan semua kesedihannya.
"Ibu.. kenapa dulu kau melahirkanku kalau sekarang.. kau... Membuangku seperti ini?? Kenapa??"
Tyan tidak bisa melakukan apapun, ia merasa sedih karna itu. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan.
"Saudaraku sedang sedih, tapi aku bahkan gak bisa lakuin apapun untuknya. Aaarrrhh... Padahal dia selalu ada saat aku sedih dan takut. Betapa bodohnya aku.." kata Tyan menggerutu.
Jey memandang foto masa kecilnya. Foto yang masih bisa ia selamatkan saat rumahnya separuh terbakar. Foto saat keluarganya masih lengkap.
Terlihat senyum bapak, ibu dan dirinya saat masih sangat kecil, mungkin saat umurnya masih 3 tahun.
"Apa aku hanya pajangan untukmu ibu? Apa ini gak ada artinya?" Batin Jey.
Ia meraih korek api di kantongnya, Tyan tidak tau jika ia mengantongi korek api saat itu.
Dimana ia mendapatkan korek api itu? Ya.. dia ingat betul. Sesaat sebelum audisi, ada yang tidak sengaja menjatuhkan korek api, dia ingin mengembalikannya, tapi orang itu menghilang.
Jey membakar foto itu.
"Bukankah ini sudah gak ada artinya untukmu? Aku akan membuangnya. Aku juga sudah muak." Batin Jey.
Foto itu terbakar habis. Dada Jey yang sesak, terasa sedikit ringan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Ia merendam tubuhnya ke dalam bathtube yang telah penuh dengan air.
"Rasanya aku ingin mati saja.. percuma.. untuk apa aku hidup.." batin Jey
*
Sudah lebih dari 3 jam Jey berada di dalam kamar mandi, dan belum keluar. Hanya ada suara kran air yang masih menyala.Tyan semakin khawatir. Ia terus berusaha membujuk Jey agar segera keluar.
"Jey.. kenapa kau diam saja? Keluarlah.. kau membuatku khawatir."
Tak ada jawaban.
"Jey.. tolong.. "
Masih tak ada jawaban.
"Beri aku petunjuk kalau kau masih bisa mendengarkanku. Tolong.."
Tak lama suara kran di matikan.
Tyan menganggap itu adalah tanda kalau Jey masih mendengarkannya.
Tyan sedikir lega, ia hanya duduk di luar kamar mandi menunggu Jey keluar.
Tak lama, yang lain pulang dan berkumpul di depan kamar mandi.
Tyab mengatakan apa yang telah terjadi pad Jey hari ini kepada yang lain.
"Aku khawatir.." kata Tyan.
"Biarkan saja, dia hanya butuh waktu sendiri."
"Aku takut kalau Jey.."
"Dia bukan orang yang berpikiran dangkal seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN
Fanfiction~Kisah kami terlalu menyakitkan, haruskan kami menceritakannya kepadamu?~ Ya, kami hanya bertujuh. Hidup sebagai saudara. Nenek telah menyatukan kami sebagai keluarga. Setelah nenek pergi, kami harus menghadapi semua masalah bersama-sama. Akan kah...