Jey kecil melihat anak-anak perempuan sanggar yang sedang latihan menari tarian kipas, di dampingi oleh bu Yasmin. Beberapa anak laki-laki termasuk dia bergantian istirahat di sisi ruangan.
Pandangan mata Jey tidak bisa lepas dari mereka. Ia selalu memperhatikan bu Yasmin dan anak-anak perempuan latihan menari tarian itu.
"Ini adalah tarian yang di minta pak bupati untuk di tampilkan dari sanggar kita, kita harus belajar agar dapat menampilkannya dengan sempurna. Ayo gerakkan kipasnya, jangan ragu-ragu, hei kakimu kurang rapat, jangan terlalu lebar, ayo berputar berputar berutar.. okeh.. seperti itu !! Lagi lagi lagi.. jangan sampai menabrak yang lain !!" Kata bu Yasmin mengoceh. Dia akan terus mengawasi setiap detail tari yang dia ajarkan.
"Aku juga bisa." Kata Jey.
"Itu sangat mudah. Tapi yang menarikannya hanya anak perempuan. Kenapa kipas itu sangat menarik? Pasti seru menari pakai kipas itu." Lanjutnya.
Jey terus meniru gerakan tangan tari kipas, saking seringnya dia memperhatikan, dia sampai hafal gerakannya.
"Oke, sudah cukup latihan hari ini. Tolong gerakan yang sering kalian lupa atau sulit harus di latih sendiri di rumah. Paham?"
"Iya." Jawab anak-anak serentak.
"Pulanglah."
Semua anak pulang kecuali Jey.
"Kau tidak pulang?"
"Bolehkah aku meminjam kipas nya? Aku sudah sering memperhatikan mereka."
"Kau ingin mencobanya?"
"H'm." Kata Jey bersemangat.
Bu Yasmin meminjamkan salah satu kipas untuk latihan tadi.
Di depan kaca yang besar ia memperhatikan dirinya menari dan mengayunkan kipas.
"Bapakmu kemana? Apa dia tidak mencarimu?"
"Bapak ke pasar, katanya mau beli sayuran sama daging untuk makan besok."
"Ooh begitu. Bu Yasmin pulang dulu ya, anak-anak ibu pasti nyariin. Nanti kalau pulang, langsung kunci sanggarnya ya?"
"Iya bu."
Bu Yasmin pulang dengan motornya. Namun tak lama, tiba-tiba hujan turun deras, bahkan petir menyambar.
"Apa bapak belum pulang? Hujannya deras sekali." Kata Jey.
Jey meletakkan kipas nya, dan berlatih gerakan lain, ia bahkan latihan split, melompat tinggi dan menekuk tubuhnya ke belakang.
"Kata bu Yasmin kalau ingin jadi penari hebat harus lentur dan lincah. Aku harus seperti itu. Aku ingin tampil di panggung besar kayak ibuk."
*
Hujan masih deras, Bapak memilih berlindung di emperan toko di pasar karna tidak membawa payung.
"Kenapa hujannya deras sekali."
Bapak hanya bisa menunggu hujannya reda.
"Jey sudah pulang belum ya?" Kata Bapak khawatir.
"Kenapa perasaanku gak enak? Apa yang terjadi."
*
Petir menyala dari langit yang gelap. Hujan turun semakin deras. Seakan itu adalah pertanda akan datangnya hal-hal buruk yang akan terjadi.
Dan benar saja.
Sebuah pohon terbakar dan tumbang menghatam sebuah rumah di dekatnya. Listrik padam seketika.
*
Hujan mulai reda setelah nyaris dua jam turun dengan derasnya.
Bapak pulang, dijalan ia bertemu dengan bu Yasmin.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN
Fiksi Penggemar~Kisah kami terlalu menyakitkan, haruskan kami menceritakannya kepadamu?~ Ya, kami hanya bertujuh. Hidup sebagai saudara. Nenek telah menyatukan kami sebagai keluarga. Setelah nenek pergi, kami harus menghadapi semua masalah bersama-sama. Akan kah...