Cuaca semakin panas. Acara demi acara telah di laksanakan. Jey telah berganti baju dan bersiap untuk pulang.
"Semuanya, kalian telah bekerja dengan bagus. Ibu bangga kepada kalian."
Semua bertepuk tangan.
"Mari kita pulang, ibu sudah menyimpan semua peralatan menari tadi ke dalam mobil."
Semua anak berbaris menuju mobil agar bisa pulang.
"Bu, hmm.. bolehkah aku tinggal disini sampai acaranya selesai? Aku bisa pulang sendiri. Aku juga bawa uang."
"Ah.. jangan. Kau masih kecil, bagaimana kalau kau tersesat?"
"Bapak sering mengajakku lewat jalan ini. Jadi ibu gak perlu khawatir."
"Ibu masih khawatir.."
"Umm.. begini saja, kalau sampai jam 5 sore aku belum ada di sanggar, ibu bisa menjemputku kemari. Jika aku tersesat aku akan kembali kemari. Lagi pula disini tidak banyak tikungan, aku bisa kembali dengan mudah ke sekolah ini."
Bu Yasmin masih memandang Jey dengan khawatir.
"Aku janji aku akan kembali." Kata Jey meyakinkan.
"Baiklah, ibu akan melihatmu di sanggar, jam 5 sore. Oke? Dan ibu akan mencarimu kemari jika kau tidak ada disana."
Jey mengangguk.
"Ah iya, ibu akan tuliskan nomor ponsel ibu. Jika kau tersesat, mintalah tolong seseorang untuk menghubungi ibu disini. Mengerti?" Kata Bu Yasmin. Dia memberikan secuil kertas bertuliskan nomor ponsel nya.
"Aku akan menyimpannya."
Bu Yasmin pergi meninggalkan Jey di sekolah itu. Ia masih khawatir tapi Jey berhasil meyakinkannya. Rombongan bu Yasmin pergi. Jey melanjutkan menonton acara.
Hari sudah sore, acara hampir selesai. Jey duduk sendirian di taman belakang, dia sudah bosan dengan acara sekolah. Dia memang berniat untuk sendiri.
Jey memandang kedua telapak tangannya.
"Aku masih ingat kapan terakhir kali bapak sama ibuk menggandeng tanganku dengan bahagia. Aku harus tetap menyimpannya."
Air mata membanjiri pipinya, bahkan tanpa ia rasakan. Hatinya masih terasa sakit saat bapaknya pergi tepat di depan matanya.
"Hei." Sapa seseorang. Jey menoleh, seorang anak laki-laki tampan yang tersenyum ramah dengan membawa kotak kue, Zayn.
"Kau sedang apa disini? Sendirian?" Tanya Zayn. Ia duduk di samping Jey.
"Tidak. Aku hanya ingin duduk disini."
"Kau menangis?"
"Sedikit. Aku hanya sedikit sedih."
"Kenapa?"
"Aku... Gak bisa bilang."
"Gak apa-apa. Bilang aja, aku bisa jaga rahasia. Hei, aku punya lima adik, hm.. salah satunya munhgkin seumuran denganmu."
"Lima?"
"Iya. Aku terbiasa mendengar keluhan mereka, cerita harian mereka, apapun. Dirumah kami selalu berbagi cerita bersama."
"Itu.. terdengar sangat menyenangkan."
"Apa kau tidak punya saudara?"
"Tidak. Aku bahkan.. tidak punya orang tua."
"Apa itu yang membuatmu sedih?"
Jey mengangguk.
"Hm.. kalau begitu, anggap saja aku kakakmu. Hm? Aku akan menganggapmu adikku. Kau mau kue? Sepertinya ada sisa kue tadi." Kata Zayn. Dia membuka kotak kue. Ada sepotong kue cubit dan seiris kue roti gulung mini yang tersisa. Ia memberikan semuanya ke Jey.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN
Fanfiction~Kisah kami terlalu menyakitkan, haruskan kami menceritakannya kepadamu?~ Ya, kami hanya bertujuh. Hidup sebagai saudara. Nenek telah menyatukan kami sebagai keluarga. Setelah nenek pergi, kami harus menghadapi semua masalah bersama-sama. Akan kah...