Part 14

263 46 0
                                    

Kalimat itu terus mendengung di kepalanya. Sangat menyakitkan. Bahkan mungkin tak akan pernah sembuh. Ingatannya penuh dengan bayangan wajah ayahnya yang tak lagi selalu terlihat berduka.

"Ayahmu sudah gila, dia depresi karena ibumu dan kau. Lebih baik kami jauhkan kau dan dia." Kata nenek berbisik kepada yoogi.

"Ayah tidak akan pernah melupakanku." Kata yoogi dengan suara yang kecil. Ia mulai menangis.

"Kami akan berusaha membuatnya lupa tentangmu dan ibumu." Bisik kakek.

"Bu, minta tolong jaga yoogi kami. Kami harus mengobati ayahnya terlebih dahulu. Uang untuk sekolah yoogi akan kami transfer setiap bulan. Kami akan menjemputnya jika ayahnya sudah sembuh dari depresi.." kata nenek dengan sangat manis.

Yoogi tau, itu hanya bualan. Nenek tidak akan pernah menjemputnya. Selamanya dia akan menjadi penghuni panti itu hingga dewasa.

Yoogi hanya mematung melihat kakek dan neneknya membawa ayah pergi. Tubuhnya di dekap erat oleh pengasuh panti asuhan.

Dan lagi.

Sikap yoogi berubah menjadi sangat pendiam dan dingin. Ia hanya suka berada di kamar. Tidur, menulis dan mendengarkan musik dari radio. Ia ingin meminta piano keyboard tapi ia tau, nenek dan kakek tidak akan mengirim uang lebih. Hanya cukup untuk biaya sekolah dan makannya sehari-hari.

Yoogi tidak memiliki teman, bahkan tidak ada niatannya untuk memilikinya. Ia terlanjur nyaman hidup sendiri dengam dunianya sendiri. Ia hanya bicata sedikit dengan ibu pengasuhnya. Tak banyak, hanya untuk hal-hal penting.

Ibu pengasuh seringkali khawatir dan mencoba untuk selalu mengajak yoogi bicara, tapi yoogi tak terlalu banyak merespon.

"Kenapa kau tidak bermain, yoogi?"

"Tidak apa-apa, bu."

"Apa teman-temanmu membully mu lagi?"

"Tidak."

" Lalu Kenapa?"

Yoogi hanya menggeleng kecil.

"Apa kau punya masalah lain? Ceritakan pada ibu."

"Aku baik-baik saja, bu."

Ibu pengasuh menghela nafas panjang. Yoogi selalu seperti itu. Bahkan saat teman-temannya mengejek fisiknya, ia terlihat tidak perduli dengan itu. Ekspresinya tetap sama. Dingin. Ibu pengasuh hanya sering mendengar yoogi mengumpat dengan suara kecil.

"Hei, apa kau lahir dari hantu? Kenapa kulitmu pucat sekali?"

"Bukannya dia memang anak hantu? Wajahnya saja menakutkan seperti hantu. Hahahahaha."

"Katamu kau lebih tua dari ku, tapu kenapa badanmu kecil? Apa kau penipu?"

"Badanmu bahkan mirip dengan perempuan. Hahaha."

"Mungkin dia anak perempuan yang ingin jadi laki-laki. Hahahaha."

"Saat bermain game, dia selalu kalah. Benar-benar seperti anak perempuan. Dasar lemah. Hahahaha."

Perkataan-perkataan seperti itu yang setiap hari jadi makanan yoogi. Terus berdengung di kepalanya.

"Kalian sampah." Gumam Yoogi.

"Lihat saja, suatu saat aku akan membeli mulut kalian yang kotor itu." Kata Yoogi dalam hati.

"Dasar mulut busuk." Umpat yoogi yang sempat di dengar ibu pengasuh.

Tapi yoogi bertahan di sana sampai ujian nasional tingkat SD selesai. Dia ingin segera pergi dari sana. Tempat itu adalah neraka baginya.

Yoogi masih mengingat semua hal itu. Semua masih tersimpan di sisi sudut otaknya.

SEVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang