75. Pulang

871 150 49
                                    

Serial The JAHat Stories – 75. Pulang

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2020, 25 Februari

-::-

"Kamu beneran ngga apa-apa, Fa?" tanya Hamzah pada Hanifa ketika mereka menaiki tangga menuju kamar, usai mengantar Jafar ke kamar di bawah tadi.

Pulang dengan taksi, mereka baru kembali dari rumah Johnny, setelah acara sidang mendadak untuk Wangsa, dan semua berakhir dengan kejelasan sana-sini. Hamzah sih inginnya membawa masalah ini ke ranah hukum, hanya saja Hanifa menolak dengan tegas. Sepanjang perjalanan Hanifa hanya diam dan melihat ke luar jendela taksi. Tanpa suara, juga tanpa air mata.

Hanifa melihat pintu-pintu kamar adiknya yang tertutup rapat. Seluruh penghuni rumah sudah tidur. Pun ayah dan ibu mereka. Hamzah sebagai anak tertua memegang kunci cadangan kalau-kalau pulang malam. Sebab hanya Hamzah yang diperbolehkan pulang di atas jam sembilan. Yang lain boleh, jika bersama Hamzah atau orangtua mereka.

"Aku cuma khawatir aja, Mas," kata Hanifa pelan. "Zaid nanti kena masalah lagi ngga ya?"

Hamzah mendengarnya dengan bahu turun. "Mas nanyain kamu, Fa. Kok malah khawatir sama Zaid sih?"

"Ya aku sih ngga apa-apa, Mas. Dia ngga mungkin ganggu aku lagi setelah ngadepin Mas sama Mas Alif dan Mas Johnny..."

"Itu manusia ngga mungkin juga gangguin Zaid lah. Cari mati apa?"

Hanifa hanya mengangguk tanpa balasan kata. Mereka berdiri di depan pintu kamar Hanifa. Hamzah meraih kenop pintu dan membukanya.

"Ya udah, tidur gih. Udah jam segini."

Hanifa mengangguk, menghambur ke pelukan Hamzah sekejapan sebelum memasuki kamarnya dan berbalik.

"Makasih banyak buat semuanya ya, Mas," kata Hanifa dengan tangan memegangi pintu yang separuh terbuka. "Alhamdulillaah udah agak legaan."

"Iya. Kamu jangan stres-stres dong. Mas jadi ikutan stres kalau kamu stres, tahu ngga?"

Lagi-lagi Hanifa hanya mengangguk. Melihatnya, Hamzah menarik sudut-sudut bibirnya.

"Senyum dulu lah. Udah lama ngga lihat kamu senyum," ucap Hamzah.

Dalam hitungan detik, satu senyuman tertampil di wajah Hanifa. "Jazakallaah khayr," ucapnya. "Oh iya, nanti tolong tanya kabarnya Mas Johnny. Kayaknya tadi berantem kan ya? Udah diobatin kan lukanya?"

Hamzah mengangguk. "Iya, nanti ditanyain. Udah, sana tidur. Jangan lupa wudhu, baca doa."

"Iya, Mas juga tidur," balas Hanifa dengan satu senyuman lanjutan. Kemudian membiarkan hidungnya ditarik sekilas oleh Hamzah.

"Mas mau ke kamar Jafar, numpang tidur di sana deh," Hamzah bergerak, hendak menjauh dari pintu. "Dah. Assalamu'alaykum."

Langkah-langkah Hamzah tertuju ke tangga lagi. Pelan dia menuruni anak tangga, lalu berkelok menuju dapur. Merunduk, Hamzah mengambil sebotol air dingin dan susu segar yang rupanya masih ada di dalam kulkas. Dia membawa dua minuman itu ke kamar Jafar.

"Belom tidur lo?" tanya Hamzah, mendapati Jafar yang sudah berbaring sembari memegang ponsel.

Mendapati kakak lelakinya bergabung dengannya di tempat tidur, Jafar mematikan layar ponsel.

"Belom. Tadinya mau nelepon Zaid," kata Jafar sembari menarik selimut yang menutupi separuh tubuhnya. "Jangan lah, udah malem."

Hamzah ber-oh pelan, lalu duduk di tepi kasur sebelum kemudian meneguk susu segar dari dalam botol.

"Hanifa udah tidur, hyung?"

"Udah, kali. Tadi gue cuma nganter ke kamarnya doang. Alhamdulillaah Umma udah tidur kayaknya tuh. Kalau belom tidur, males gue ditanya-tanya."

"Hm."

Kelar dengan susu segar tadi, Hamzah lanjut meneguk air putih dingin yang dia bawa dari dapur.

"Lo kenal?"

"Apaan?" Jafar menoleh, tak mengerti.

"Itu, siapa lah itu namanya, males gue nyebutinnya!"

"Oh," Jafar mendadak paham. "Temen sekolah gue. Beda kelas."

"Emang brengsek anaknya?"

Jafar angkat bahu. "Ya suka maen cewek sih. Gue ngga terlalu ngurusin. Tapi ngga bermasalah di sekolah."

"Sekolah lo mana ada masalahnya sih? Bersih gitu namanya."

Hamzah berkata dengan decihan sebal. Jafar menghela napas dibuatnya.

"Ya emang iya, hyung. Kalau ada yang bermasalah, pasti dijadiin target sama pihak bimbingan konseling. Dia ngga pernah terlibat kenakalan remaja. Ngerokok aja ngga pernah ketahuan."

"Bangsat emang ya."

"Makanya gue kaget tadi ngapain dia ada di situ? Lebih kaget lagi pas tahu dia yang gangguin Hanifa. Kalau bukan Zaid yang diserang, kalau aja gue yang lagi sama Hanifa pas Hanifa diganggu, pasti laen ceritanya, hyung!"

Jafar ngegas. Rasanya emang snewen banget kalau inget, pas Hanifa diganggu tuh dia ngga ada di sana.

"Jangan kalau-kalau lu," sela Hamzah, mengingatkan.

"Eh, astaghfirullaah..." Jafar meluruskan. "Ya pokoknya begitu lah. Gila itu bocah, ngga nyangka banget. Gue lumayan temenan sama dia. Ngga pernah ada masalah."

Hamzah merebahkan tubuh, menempelkan kepalanya pada bantal besar di sisi kanan Jafar. Kedua matanya menatap langit-langit kamar, satu kakinya menyilang di atas lutut yang satunya.

"Gue penasaran," kata Hamzah. "Gue harus ketemu Zaid. Abisannya nanya Hanifa jawabannya sepotong-sepotong. Gue juga ngga tega lah, masa nguberin Hanifa buat ngejelasin mulu. Bisa stres dia."

"Ya janganlah, hyung."

"Jangan apaan neh?"

"Jangan nanya-nanya Hanifa mulu lah. Kasihan dia udah stres diganggu sampe jadi pendiem banget begitu. Kayak orang laen aja kalau dia pendiem gitu," kata Jafar. "Terus, ini Appa sama Umma harus tahu ngga?"

"Kata Hanifa, jangan. Nanti malah repot lapor-lapor polisi. Tahu sendiri Appa segimana sayangnya sama Hanifa," kata Hamzah.

Teringat di awal-awal kejadian menyedihkan itu, Appa-nya bolak-balik ke kamar Hanifa cuma memastikan Hanifa ngga nangis-nangis mulu kerjaannya. Hamzah juga dapet perintah buat mastiin Hanifa ngga nge-drop kemudian melakukan hal yang tak terduga. Meskipun Hanifa ngga mungkin bunuh diri gara-gara stres yaaa, tapi melihat Hanifa baca Quran tersendat-sendat karena nangis aja itu udah menyakitkan hati.

"Tapi Hanifa hebat ya, Jaf," kata Hamzah lagi. "Kalimat-kalimat dia tadi nancep semua. Kayak Umma kalau lagi marah, nusuk banget kalimatnya."

"Udah meledak ya gitu. Kita mana pernah lihat Hanifa marah? Anak paling santuy itu Hanifa, hyung. Kebangetan udah dibikin meledak begitu. Mati gue sih kalau jadi si Wangsa!"

"Jangan sebut-sebut nama si sialan itu ah elah!" Hamzah ancang-ancang noyor adiknya.

"Keceplosan, hyung!"

Detik berikutnya, Hamzah bangkit dari berbaring. "Pokoknya gue harus nanya Zaid lah. Kronologis kejadiannya yang jelas itu kayak mana elah... Gemes banget gua... Sebenernya mau nonjok dia sampe berdarah-darah ah! Kesel. Kalau ngga inget pesen Appa, udah gua patahin lehernya!"

"Astaghfirullaah..." Jafar cuma geleng-geleng kepala. "Sesungguhnya gue juga!"

Lantas keduanya mendengus keras. Sebal bukan main.

"Ya udah ah, gue mau bersih-bersih dulu," ucap Hamzah, menyeret kembali langkahnya menjauhi kasur empuk yang sesaat tadi membuatnya terlena. "Pinjem sikat gigi lu ya! Gue males ke atas!"

[]

The JAHat StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang