76. Lah?

913 161 73
                                    

Serial The JAHat Stories – 76. Lah?

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2020, 9 Maret

-::-

Kendaraan roda empat, yang mengantar empat orang penumpang di dalamnya, berhenti di dekat gang kecil, selagi para penumpangnya heboh bercakap-cakap.

"Mesti kejutan banget ini ya, ngga sabar Mamah mau ketemu Bu Halimah, Pah!" ucap Bu Mae pada suaminya, Pak Jae yang duduk di kursi penumpang sebelah sopir taksi online. Lengkapnya, Pak Jaelani, bukan jaelangkung loh ya!

"Haduh, Mamah pasti happy banget deh, ngegosipin tetangga jaman dulu?!" ucap Alia yang duduk di sebelah ibunya.

"Wooh, dulu Mamah sama Bu Halimah itu, ceesan dalam hal ngejulidin orang, Kak!" sahut Bu Mae, merespons tuduhan anak gadisnya. Sementara Alia cuma mencibir. Alif, si anak ganteng yang duduk di bagian belakang kursi mobil, geleng-geleng kepala melihat ibunya yang saking semangatnya sampai nyerocos mulu dari tadi.

"Ini udah sampe," kata Bapak Jaelani. "Mau turun atau ngobrol dulu?"

"Wah, udah sampe!" ucap Bu Mae. "Dek, itu kuenya jangan kelupaan. Kak, bayarin taksinya ya. Pah, rumahnya gang yang sebelah mana?"

Ribut banget emang nih, Bu Mae. Kalau baru tiba di satu tempat asing, bawaannya khawatir nyasar.

"Masuk gang mana nih?" tanya Alif dengan dua tentengan di tangannya. Isinya brownies kukus keju dan seloyang bolu keju.

"Telepon aja, Mah, daripada nebak-nebak," saran Bapak Jaelani pada istrinya yang kini terlihat menepuk pelan keningnya sendiri.

"Lha iya, kenapa bisa lupa?"

Maka, istrinya Pak Jaelani itu lantas mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang ia bawa. Dibukanya kunci layar, kemudian mencari nama kontak Ibu Halimah di dalam sana.

"Wa'alaykumussalaam," kata Bu Mae begitu panggilan teleponnya dijawab oleh pihak seberang. "Udah sampe di Gang Saabah nih, Bu. Iya, masih setengah sembilan tapi udah sampe. Hahaha, ngga sabar mau ketemu nih kita. Oh, iya, boleh, boleh, boleh. Aku tunggu ya. Iya, iya... Wa'alaykumussalaam."

Alif mundur sedikit dari tempatnya berdiri, membuatnya bersisian dengan Alia yang berkali-kali menyeka peluhnya dengan tisu kering. Pagi jam setengah sembilan, matahari bersinar garang sekali. Alia yang biasa kerja dengan perlindungan pendingin ruangan, jelas merasa gerah berada di tepian jalan seperti sekarang.

Beberapa orang berlalu lalang di dekat mereka. Pak Jaelani dan Bu Mae terlibat percakapan tentang masa-masa dulu mereka bertetangga dengan Bu Halimah yang disebut-sebut oleh Bu Mae sejak tadi.

"Dek, besok anterin gue ke Duren Sawit dong," kata Alia pada adiknya.

"Mau ngapain?"

"Ada janji sama temen gue. Kumpulnya di sana. Gue bisa aja sih naik taksi, tapi ngga berani lah, belom pernah ke sana. Temenin gue sampe pulang. Ya?"

"Wani piro?" tanya Alif dengan senyum seringainya.

"Dek, nolongin kakakmu yang cantik ini tuh kudu ikhlas dong," ucap Alia dengan wajah sebal.

"Ya sip, ditemenin. Dua ratus ribu yak?"

"Macem gigolo aja lo, pake tarif," sungut Alia.

"Heh, siapa itu ngomong-ngomong kayak gitu?" sela Bu Mae yang telinganya meski ketutupan jilbab ya masih bisa mendengar dengan jelas ungkapan buruk yang dilontarkan anak gadisnya barusan.

Alia manyun. "Becanda, Mah..."

"BU MAE?"

Sang ibu baru hendak mengomel lagi, seiring dengan didengarnya panggilan atas namanya tadi. Mendapati sosok Ibu Halimah yang dikenalnya kini menyapa dengan tangan terbuka.

The JAHat StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang