"Ini ... kak Anna waktu kecil? Kok beda jauh?"
Pertanyaan itu sebenarnya singkat, tapi entah kenapa membuat Anna membisu beberapa detik. Anna memberi sorotan dalam-dalam, entah kenapa Youka menangkap aura negatif di sana. Tanpa basa-basi, Anna langsung memalingkan wajah. Dia seolah enggan dilirik Youka.
"Anna," panggil papa. "Cepet abisin rotinya," lanjut sang papa berusaha mencairkan suasana.
Brak.
Anna bangkit dari bangkunya lalu berjalan pergi menjauh tanpa menatap papa maupun Youka.
"Na, ko gak diabis—" Sang papa berusaha menahan Anna namun Anna menepisnya pelan. Buru-buru dia berlari pergi dan sekarang sudah berada di depan rumah serta memasang kaus kaki juga sepatunya dengan telaten walau hatinya terus-menerus terasa panas. Tanpa sadar, air matanya terjatuh tiga tetes. Cepat-cepat cewek itu memilih menghapusnya daripada nantinya akan membuat orang-orang khawatir. Anna tidak mau dianggap wanita lemah. Sesederhana itu dia sampai baru teringat ucapan papa tadi. Walau telat, Anna berusaha menjelaskan.
"Aku udah kenyang, pa."
Selama sepuluh menit Anna menunggu papa dan Youka makan di meja makan, dia memilih masa bodoh dengan apa saja yang mereka bincangkan. Walau Anna tahu, pasti topik utamanya adalah dirinya sendiri.
"Maaf om, aku nggak tau kalo itu menyinggung kak Anna. A-aku salah ya, om?" tanya Youka kebingungan, bocah kecil itu tidak tahu apa yang harus dia rasakan.
Papa hanya tersenyum kecil, dia tahu bagaimana perasaan Youka dan juga Anna. Mungkin, bagi Anna itu hal yang berat dan tidak pantas diutarakan oleh orang lain. Apalagi notabenenya Youka adalah figur baru di dalam kehidupan Anna. Namun jika ditilik dari sisi Youka, sebenarnya Youka tidak salah juga, kan? Dia hanya seorang anak kecil polos berwajah imut yang tidak tahu apapun. Mungkin juga niatnya dia ingin menjadi seseorang yang berganti menggantikan banyak figur untuk Anna, tapi sayangnya bukan saat ini. Dan untuk memaklumi hal tersebut karena Youka masihlah seorang anak yang belia, papa memilih mengelusi surai lembut Youka.
"Udah nggak papa, bukan salah kamu kok. Lagian kamu jangan panggil saya om dong," hibur papa.
"Eh? Terus apa?" Wajah bersalah Youka hilang digantikan keterkejutan atas perilaku papa Anna yang tiba-tiba itu.
"Papa lah, Youka kan udah saya anggap anak saya sendiri," jawab papa.
"Ma ... makasih, om—eh pa," jawab Youka ragu dan terharu.
"Iya." Papa Anna melanjutkan dalam hati, 'kehadiranmu menggantikan banyak orang di hidup kami, Youka.'
***
Hujan. Sebuah fenomena menarik dengan berbagai pendapat yang menyongsongnya. Pertama, menurut Wikipedia, hujan merupakan salah satu bentukan proses presipitasi yang terjadi karena proses dari siklus hidrologi.
Kedua, menurut orang-orang beriman yang mempunyai kepercayaan, hujan itu membawa berkah dari Tuhan. Berbeda lagi dengan berbagai penyair yang mengganggap hujan itu turun dengan membawa kenangan dan ingatan-ingatan yang lantas ingin dilupakan.
Sebenarnya proses terjadinya hujan itu merupakan refleksi kehidupan manusia. Butir-butir air yang ada di langit itu dapat turun ke bumi karena kondisi awan yang sudah jenuh untuk menampung air-air itu, belum lagi tekanan gravitasi yang memaksa agar hujan itu turun. Sama seperti kita, jika terus-menerus ditimpa suatu perkara berat apalagi dengan tekanan yang tak menentu, maka kita tidak akan sanggup lagi dan harus melepas semua itu agar hidup menjadi lebih ringan.
Sama seperti Anna, entah kenapa air matanya terus berlinang ketika mengingat hal-hal yang sudah lampau itu. Sang papa, yang duduk di sebelahnya berusaha fokus pada kemudi tetapi berat sekali jika melihat putri tersayangnya ini terus membuang muka dengan menatap jendela. Bukan tidak tahu kalau darah dagingnya itu menangis, hanya saja papa tidak tahu cara menghiburnya.
"Na," panggilnya.
"Iya?"
"Kalau mau nangis tuh teriak, jangan diem-diem aja. Setau papa, malah makin nyesek, lho kalo kayak gitu," saran papa seikhlasnya.
Anna refleks menghapus-hapus air matanya lalu menatap sang papa berani. "Dih, aku nggak nangis kok!"
"Bohong," ledek papa dengan wajah konyol.
"Beneran," rengut Anna tak terima. Kenapa papanya jadi sama menyebalkannya seperti Arul, coba?
"Uuu, putri papa menangis. Manisnya," goda papa lagi. Memang, papa Anna tidak bisa menjadi lelaki romantis yang memeluk atau mencium agar Anna tenang. Tapi entah kenapa lelaki berusia tiga puluh sembilan itu lebih jago melakukan hal-hal receh yang dengan mudahnya mengembalikan mood Anna. Kini, sebuah ukiran senyum tercipta di bibirnya.
Melihat itu, hati papa berdesir. Tidak ada papa yang ingin putrinya bersedih atas apapun.
"Na, terus senyum, ya!"
"Kenapa emang?"
"Kamu manis kalo senyum!" Dengan gemas papa Anna menjawil hidung putrinya itu membuat Anna mengaduh.
"Aduh papa! Ih dasar, modus!" Meski berkata begitu untuk menunjukkan kekesalannya, sebaliknya Anna malah tersenyum riang. Papa adalah lelaki terbaik yang selalu menginginkan putrinya tersenyum riang tanpa beban masalah.
"Hahahaha."
-----
Hai readers! Huwaa udah berapa hari ga update ya?? Eh aku update rutin setiap tanggal genap lho🥺😚 see you soon!
Posted : 2 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Robot Sang Peri Cinta✔
Teen Fiction"Oi, plastik!" "Apa, bawang?" "Gue benci sama lo, plastik!" "Gue jauh lebih benci sama lo, bawang!" - Syahrul Abidzar Maulana (Arul), seorang cowok tampan, cool, ketua ekskul basket, bahkan termasuk jajaran most-wanted SMA Cattleya terlibat sebuah p...