Anna menahan napas. Guru fisika berkacamata bulat dan berhijab magenta itu menatapnya dalam. Anna tahu, Ririn menunggunya dengan cemas di depan ruang guru. Cewek bermulut besar itu hatinya sangat tulus, Anna yakin Ririn tidak akan meninggalkannya.
Hening sepuluh detik sudah cukup untuk membuat Anna membuka suara duluan.
"Mohon maaf, Bu. Ada apa ya sebelumnya?"
Bu Dewi memandang sangsi dan berdeham untuk mencairkan suasana. "Begini, Ibu tau pasti kalo nilai fisika kamu itu tertinggi di kelas 11-A IPA. Ya, siapa sih yang gak kenal Annandita sang juara paralel bertahan?"
Anna berusaha menangkup kata demi kata, namun masih belum bisa menafsirkan maksud tersirat di dalamnya.
"Iya, kan?"
"Eh?" Baru disadari bahwa Anna hanya bergeming, sebenarnya dia berusaha memahami bukan bengong. Agar terkesan tidak kaku, Anna memilih mengangguk.
Bu Dewi mendekatkan wajahnya, berbisik lirih. "Kamu tau Syahrul dari kelas sebelah. 11-B?"
Anna terdiam sejenak, lalu menggangguk. Jika berbohong pun maka akan terlihat sekali mengingat apa iya seorang anak juara satu paralel tidak tahu nama penyabet rivalnya yang mendapat juara dua?
"Ibu heran betul sama Arul, dia itu beasiswa prestasi non-akademik, kapten basket, tapi ampun-ampun deh nilai fisikanya jelek parah!"
Anna menahan tawa mendengar ucapan Ibu Dewi. Lha wong, gimana nilainya tidak jelek parah kalo yang dibicarakan saja sudah phobia tingkat akut sampai muntah-muntah padahal baru dijelaskan sedikit. Tidak kebayang bagaimana ekspresi Arul tiap kali mengikuti pelajaran Fisika di kelas kan, ya?
"Lagian nih, aneh tapi nyata! Tiap kali Ibu ngajar di kelasnya, dia selalu izin ke toilet. Sampe-sampe Ibu pikir beser! Huft!"
Tuh, kan!
"Iya, Bu." Anna menyahut saja, mencari aman.
"Nah Ibu percaya sama kamu. Kamu bisa kan bantu Ibu untuk ngajarin Syahrul? Minimal sampe nilai ujiannya menyentuh KKM, deh," pinta Ibu Dewi penuh harap.
***
Anna berjalan keluar dari ruang guru dan mendapati Ririn yang terduduk setia di bangku koridor. Detik berikutnya Ririn memanggilnya lalu melambaikan tangan.
Anna memahami kode tersebut dan berjalan mendekat ke arah cewek itu. Ririn memandang Anna dengan wajah penasaran. Seberapa serius apa sih topik yang dibicarakan sampai cewek secerdas Anna dipanggil? Yang jelas bukan karena Anna membuat masalah atau melakukan suatu keonaran, pastinya.
"Ada apa, Na?"
Anna berkutat dalam pikirannya, sempat cewek itu menunduk sebentar. Memikirkan apakah keputusannya tepat atau tidak, semua keraguan itu bersatu padu, berkecamuk dalam dada.
"Rin, gue mau ketemu Arul."
Ririn langsung memegang bahu Anna. "Lo serius? Lo mau cari mati, ya? Kiara itu berbahaya, Na!"
Anna menggeleng putus asa. "Gue nggak ada pilihan lain."
"Gak! Gak! Gue nggak setuju! Kalo lo kenapa-napa gimana?" Ririn menaikkan oktaf suaranya, terdengar maksud bahwa Ririn begitu khawatir.
"Gue nggak papa, kok." Anna meraih tangan Ririn yang masih memegangi bahunya. Kegusaran dan kekhawatiran Ririn sedikit sirna.
"Lo yakin?"
Anna mengangguk kecil. Ririn menghela napas lalu memeluk Anna erat. Anna membalas pelukan itu. Sahabat adalah orang akan selalu berada di samping kita, baik suka mau pun duka. Baik tertawa mau pun merana. Kesetiaan mereka patut diancungi jempol. Saran mereka ketika kita melakukan kesalahan adalah ungkapan dari kekhawatiran mereka yang takut kalo kita melakukan hal-hal tidak pantas. Nah, apakah kamu sudah memiliki orang yang seperti itu?
------
Hoho! Cumi is back~
Hari ini RSPC syudaaah 81 yaaa😚 Tidak terasa wkwkwkwk!
Jangan lupa votes, comment, dan share ke temen-temen kalian yaaa😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Robot Sang Peri Cinta✔
Teen Fiction"Oi, plastik!" "Apa, bawang?" "Gue benci sama lo, plastik!" "Gue jauh lebih benci sama lo, bawang!" - Syahrul Abidzar Maulana (Arul), seorang cowok tampan, cool, ketua ekskul basket, bahkan termasuk jajaran most-wanted SMA Cattleya terlibat sebuah p...