His Confession - 66

54 10 1
                                    

"Kamu nggak mau macarin Anna?"

Alih-alih Arul yang menjawab, Anna langsung memekik. "Papa! Ih! Udah!"

"Hahaha, canda ya, Nak. Yaudah gih kamu pulang."

"Iya, Om. Makasih," jawab Arul lalu mengeluarkan motor dan pergi menghilang. Tiga orang keluarga itu kemudian memasuki rumah. Youka tertawa geli melihat tingkah di depan pintu tadi, benar-benar kejadian langka. Mempertemukan Papa dengan Arul dan berjalan mulus, lancar, tanpa hambatan, dan tidak ada kesalahan fatal. Sesampai di dalam, pipi Anna masih memanas.

"Pipi kamu kenapa, Na? Kaya kepiting mateng aja?" tanya papa setelah merebahkan diri di atas sofa.

"Ya, Papa abisnya. Arul itu rivalku!" jawab Anna cepat.

"Lho, papa kan nggak ada bahas Arul. Papa Cuma nanya kenapa pipimu merah. Kenapa kamu malah bahas dia?"

Anna baru sadar. Detik berikutnya dia langsung memasang wajah geli mengingat kata-kata papa di depan pintu tadi. "Ah tau, ah! Papa nyebelin!"

"Yeh! Ada ada aja."

Anna tidak menanggapi melainkan berjalan menuju kamarnya.

***

Anna datang ke kelas dengan membawa tas besar, tidak seperti biasanya. Ririn menyeloteh. "Na, lo ngapain bawa tas gede gini?"

"Gue bawa baju olahraga," jawab Anna santai. Ririn memiringkan kepala. Menganggap Anna lagi mabuk karena tidak ada jadwal mata pelajaran Pendidikan Jasmani hari ini, lantas mengapa tidak ada angin tidak ada hujan Anna membawa baju olahraga? Apa Anna berniat meminjamkan baju olahraga untuk kelas lain yang tidak membawa? Baik, amat.

"Kenapa? Lo nggak lupa jadwal, kan?"

Anna menggeleng, menyandarkan dirinya pada kursi kelas. Menatap Ririn dua detik, agak was-was teman sekelasnya akan mendengarkan diam-diam percakapan mereka. Anna memang tipikal orang yang agak tertutup, dia tidak biasa bercerita banyak pada siapa pun. Termasuk pada teman sekelasnya.

"Gue ...." lirih Anna berbisik. "Gue mau ngalahin bawang."

"Hah? Maksudnya?"

"Gue nantang dia main basket!"

Ririn memundurkan tubuh. Shock berat. "Lo serius, Na? Dia itu kan----"

Grep! Anna menahan ucapan Ririn dengan menutup mulutnya. Takut-takut kalau Ririn malah membocorkan hal ini. Tak boleh, Ririn paham. Dia mengangguk dan mengunci mulut. Tidak berkata apa pun.

"Ini rahasia. Gue cuma mau nunjukin gue lebih hebat dari dia."

"Gue heran, kok lo bisa sebenci itu dan se-obsess itu ke dia? Emang dia udah berbuat apa sih sama lo?"

Anna melirik lantai kelas. "Ya, ada lah. Pokoknya!"

"Hah? Aneh amat sih, lo!" Ririn menoyor kepala Anna pelan.

"Emang." Anna kini memandang Ririn, datar. "Lo jauh lebih aneh karena mau temenan sama gue, Rin."

***

Singkat cerita, bel pulang sekolah berbunyi. Anna masih setia duduk di kursi. Dia punya kebiasaan untuk berpikir ulang lagi dan lagi dalam mengambil sebuah keputusan, sehingga terlihat suka bengong di kelas bahkan menolak ajakan untuk pulang bersama. Tak jarang, meski Anna murid yang pintar dan terlalu berprestasi, dia seperti kurang membaur dengan yang lain. Kadang Anna bingung kalau teman sekelasnya membuat banyolan dan guyonan yang bahkan tidak dirinya mengerti di mana letak kelucuannya. Mungkin ada yang merasakan hal yang sama?

Ini bukan hari Jum'at, bukan jadwal piket Anna. Jadi aman dan sah saja. Tetapi teman Anna yang justru betulan piket hari ini hanya menatapnya lurus.

"Pulang, gih. Gue mau rapihin bangku!" Itu sang ketua kelas, Indah. Dia salah seorang murid yang mendapat jadwal piket hari ini. Anna tersentak lalu baru sadar bahwa sudah dua puluh menit sejak bel pulang tetapi dirinya belum berpaling dari sana. Dengan mengukuhkan niat dan keyakinan besar, Anna mengangguk lalu berjalan meninggalkan kelas.

Kedua kaki Anna terus melangkah bagai mesin otomatis yang sudah tahu di mana letak tempat yang akan dikunjungi tanpa menggunakan G-Maps. Kepala Anna seolah sudah diberi struktur untuk mengikuti arahan yang tadi sudah dipikirkannya matang-matang. Cewek itu kelihatan begitu tangguh dan tanpa ragu, tiba-tiba berhenti di depan lapangan SMA Cattleya. Dia jadi ingat awal pertama kali dia menemui Arul dengan menggebu-gebu dan mengutarakan kebenciannya, di lapangan ini juga.

Cowok itu sendiri seperti biasa, sedang menjalin kasih asmara dengan bola basketnya. Anna jadi heran, Arul itu mudah berbaur seperti extrovert tetapi di sisi lain dia juga suka melakukan me-time seperti seorang introvert. Apakah cowok itu gabungan keduanya?

Anna menarik napas sekali lalu berjalan menghampiri cowok itu.

"Ajarin gue main basket," ucapnya tiba-tiba. Arul terkejut mendengar suara seseorang secara tiba-tiba hingga tak lagi berkonsentrasi.

Detik berikutnya, Arul membalikkan tubuh. Raut wajahnya berubah, kini memutar bola mata. "Oh, lo."

Anna terdiam. Memberi jeda agar di antara mereka saling menatap satu sama lain. Menguatkan rasa benci di hati Anna, sesak. Mengingat kejadian itu, sesak.

"Kenapa?" Arul heran. Baru kemarin cewek ini menantangnya dan hari ini menodongkan permintaan yang aneh.

"Gue mau ngalahin lo."

"Oh. Yaudah."

"Nggak apa kan gue minta tolong lo padahal lo yang mau gue lawan?" Pertanyaan Anna agak konyol, dia jadi sungkan karena Arul tidak ada tanda-tanda menolak.

"Iya, gak papa. Karena lo nggak bakal bisa kalahin gue."

Skak mat!

Tekanan darah Anna meningkat. Sorot wajahnya berubah sewot.

"Yaudah! Pokoknya ajarin gue!"

Arul menarik senyum tipis. "Iya, tapi wajib ada bayaran."

Astaga! Maksudnya bayar itu sama kayak waktu dia nganterin gue pulang?

"Bukan!"

Dia cenayang!

"Ajarin gue Fisika."

"Hah?" Anna menganga. Tidak mampu berkata apa-apa.

"Gue benci matpel itu, gara-gara itu gue peringkat dua paralel."

Anna terdiam di tempat. Arul berjalan melewatinya. Tetapi di tengah langkahnya saat mereka berpapasan, Anna mendengar jelas apa yang dikatakan cowok itu.

"Bukan cuma lo yang mau ngalahin gue, Annandita. Gue juga bakal kalahin lo."

Anna mutlak membatu.

-----
Halooo! Happy Friday!!!♡♡♡ gimana menurut kalian ch ini? ^-^ kuy komenn!!!!

Posted : 28 Agustus 2020

Robot Sang Peri Cinta✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang