Anna berdiri dari duduknya, memandang Gifari dengan senyum yang mengembang. “Gue udah terbiasa sama bercandaan lo, tapi tolong lebih masuk akal.” Senyum yang mengembang bukanlah senyum persahabatan, melainkan senyum sarkasme. “Lo suka sama gue? Itu nggak mungkin, Gif!”
“G ... gue serius, Na!”
Anna masih menggeleng tidak bisa percaya. “Gue tau lo suka sama dia, please, jangan jadiin gue pelampiasan.”
“Itu udah berapa tahun yang lalu, Na. Gue ... gue udah move on dari dia, gue suka sama lo. Gue suka kebersamaan kita. Gue cemburu denger lo deket sama cowok lain. Apa itu bukan pertanda kalo orang suka?”
Anna tidak menyangka, pergi ke Kafe Sehat ternyata malah mengembalikan seluruh ingatan yang ingin dilupakannya. Semua kepingan demi kepingan kenangan berseliweran di kepalanya, menjatuhkan Anna pada masa lalu yang dibencinya. Gifari meraih tangan Anna. “Na, percaya sama gue.”
“Maaf, nggak bisa. Lo bukan tertarik sama gue karena diri gue, kan? Lo selama ini jagain gue terpaksa, kan? Lo berjanji kan sama dia?”
“Iya, awalnya. Semua emang gue lakuin buat dia, tapi dia udah nggak ada, Na.” Gifari mengembus napas dalam-dalam.
“Sekarang gue jagain lo dengan ketulusan, dengan keikhlasan. Biarkan gue memiliki lo, Na. Gue bakal buat lo bahagia. Gue janji.”
Senyuman sarkas Anna berubah menjadi senyuman miris. “Gue rasa gue nggak bisa, kita cuma sahabat.” Meski Gifari sudah berbuat baik padanya, menjaganya selama ini, menjadi tempat Anna berbagi kisah. Bukan berarti Gifari juga harus menjadi seseorang untuk Anna berbagi kasih. Hubungan mereka berdua dekat, tetapi ada sebuah sekat yang tidak boleh mereka lewati. Gifari menjaganya hanya karena menepati janji pada seseorang saja, kan?
“Gue suka lo, Na.” Berkali-kali Anna menolak, berkali-kali Gifari akan terus mengungkapkan. Sayangnya tidak, kenangan semasa kecil itu kembali menghantui Anna. Tidak pernah ada seorang pun yang melihat Anna sebagai Anna. Gifari juga hanya menganggapnya seperti itu, kan?
“Lo nggak bener-bener suka gue, Gif. Sedari awal yang ada di mata lo cuma dia, lo nggak bisa mencintai gue seutuhnya.”
Gifari merasa tertampar, dia menunduk. Yang dikatakan Anna itu salah, kan? “G ... gue suka l ... lo ....”
Anna menggeleng. “Bukan gue, Gif, orang yang lo sukai. Bukan. Di hati lo masih ada dia, kan?”
Gifari sekarang benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dia membisu. Tak mampu sama sekali menyangkal perkataan Anna, memang masih ada sang wanita tinggi berwajah manis dan dikuncir dua yang sering singgah ke dalam hatinya dan merasuki pikirannya. Mana bisa menghilangkan kenangan manis semudah itu? Setiap Gifari memejamkan mata, wajah wanita itu yang muncul. Bukan Anna. Dada Gifari menjadi begitu sakit, ternyata cintanya masih begitu dalam bersarang di hatinya, ya?
“Lo ... bener, Na.” Gifari tertawa kecil, menertawakan dirinya. “Gue ... mungkin masih suka Dita.”
Pembicaraan itu berhenti di sana, bersamaan dengan seorang pembeli yang datang membuat Gifari meninggalkan Anna dengan sejuta perasaan membekas. Anna tahu, jauh di dalam hati Gifari pasti dia takkan bisa melupakan sang kakak sebegitu mudah. Anna ini ibaratkan sebuah obat untuk mengurangi rasa sakit, bukan menghilangkan seutuhnya. Cinta Gifari untuk sang kakak sudah terpatri begitu dalam, mana bisa dibuang begitu saja? Anna menarik bibir tipis, syukurlah dia tidak terbawa suasana. Kalau pun dicintai, Anna ingin dicintai sebagai dirinya sendiri. Bukan sebagai sang kakak yang telah tiada.
-------
Hehe rahasianya kebongkar deh❤❤🥺
Maaf baru update, author lagi sibuk ngebu-Jin 😭😭Posted : 13 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Robot Sang Peri Cinta✔
Teen Fiction"Oi, plastik!" "Apa, bawang?" "Gue benci sama lo, plastik!" "Gue jauh lebih benci sama lo, bawang!" - Syahrul Abidzar Maulana (Arul), seorang cowok tampan, cool, ketua ekskul basket, bahkan termasuk jajaran most-wanted SMA Cattleya terlibat sebuah p...