The Reason About Why - 97

35 6 1
                                    

Arul meradang.

Dia memerhatikan sekali lagi bergantian antara gawainya yang tadi dijadikan barang bukti karena berisi rekaman dan cokelat yang baru saja ditolak Anna.

Rasanya berat.

Entah ... sulit didefinisikan.

Arul tidak paham kesakitan macam apa lagi yang menyelimuti dirinya. Kehancuran apalagi yang akan berdiri di depannya. Bahkan kegelapan berbentuk apalagi yang akan menjadi temannya meniti kehidupan ini.

***

Pulang sekolah. Urusan ini harus diselesaikan. Arul tidak boleh lari dari kenyataan lagi. Dia mengirimi pesan WhotsOpp pada Fariel.

Bro, hari ini gue balik.

Thanks ya udah izinin nginep di rumah lo selama ini.

Ting.

Balasan dari Fariel begitu cepat.

Yaelah santuy.

Kaya sama siapa aja deh lo, Rul.

Btw, tumben.

Kenapa emang? Kok balik?

Dah gak betah?

Nggak papa, haha.

Kangen emak aja.

Buahahaha.

Lo kerasukan, Rul?

Arul tidak mau menjawab lagi, ya. Mungkin saja dia memang kerasukan. Kepalanya mendongak tinggi-tinggi, memerhatikan langit yang kelabu. Suasana hatinya seperti digambarkan langsung oleh Sang Pencipta dalam bentuk mahakarya lukisan alam.

***

"Assalamualaikum," salam Arul sambil melangkah masuk ke rumah. Dia melepas kedua alas kaki lalu merapihkan dengan benar di atas rak-rak sepatu. Tidak ada seorang pun menjawab. Rumah ini hening tetapi tidak memberikan ketenangan. Bisu tetapi menyimpan guratan-guratan luka pilu yang tak tersampaikan. Rumah ini tak berfungsi selayaknya pranata keluarga yang memberikan kedamaian, sebaliknya. Semuanya adalah mimpi yang tak akan menjadi kenyataan.

Cowok itu melangkah menuju kamarnya yang terletak di lantai dua, namun baru saja kakinya meraih tangga sebuah suara serak menyapanya. Bukan bentuk balasan salamnya tadi.

"Baru pulang kamu?" Sang wanita yang selama ini selalu dihindarinya itu menaikkan alisnya jutek. "Ke mana aja empat hari ini, hm?"

"Maaf." Arul menundukkan kepala, merasa bersalah. Yang bersangkutan sudah telanjur terbawa emosi sehingga mengangkat kepala itu tinggi-tinggi, Arul menahan sakit pada lehernya yang ditarik sebegitu kerasnya.

"Saya tanya, ke mana saja kamu?"

Arul menggigit bibir, berusaha memertahakan wajah datarnya. "Maaf, Ma."

"Jawab!"

"Di kosan, Ma." Arul memilih berbohong, apabila dia mengucapkan yang sejujurnya kalau dia menginap di rumah Fariel pasti wanita baya ini tidak akan mengizinkannya untuk bergaul lagi dengan cowok narsis itu. Siapa saja yang dianggap merusak kelangsungan kepatuhan Arul, akan dianggap musuh tertinggi.

"Berani kamu ya, pulang lagi hah?"

Arul memilih terdiam dan menelan semua ocehan keras itu. Telinganya sudah panas namun mau apa dikata? Ini adalah hukuman dan bentuk risiko karena dia tidak pernah menyelesaikan masalah hidupnya, kali ini Arul tidak akan menghindar lagi.

"Mau jadi apa kamu? Masih SMA udah membangkang? Belajar yang bener! Mama mau kamu jadi ranking satu! Berprestasi! Apa susahnya, sih?"

Arul terus diam.

"Dasar anak tolol!"

Arul tidak tahan lagi lalu menghela napas dan menunjukkan sesuatu. Sebuah kertas yang membuat mamanya langsung membungkam. Mengerling tidak percaya ke arahnya. Omongan toxic-nya tak lagi keluar.

"K ... kamu serius?"

Arul mengangguk. "Ya udah, kan? Aku ngantuk, mau ke kamar."

Arul berjalan santai meninggalkan mamanya yang masih tidak percaya, tetapi lagi-lagi lajunya diberhentikan.

Sret!

Arul ditarik dan langsung dipeluk dalam-dalam.

"Nah gitu, dong! Mama bangga sama kamu kalo kayak gini." Mama Arul mengencangkan pelukan mereka. "Mama mau kamu nilai bagus, kerja sukses, punya perusahaan gede. Biar nggak hidup susah kayak mama dan papamu."

"Iya, Ma. Aku paham," jawab Arul lalu mengangguk, memerhatikan sekali lagi kertas ujian Fisikanya yang nilainya sudah diralat sampai KKM. Bu Dewi sungguh-sungguh tulus memberikan Arul nilai yang setidaknya tidak 'jeblok'.

Ingin rasanya Arul berkata bahwa menjadi seorang atlet basket pun sebenarnya adalah prospek yang tidak bisa diremehkan, belum lagi disitulah passion Arul. Di mana ketika dia melakukan sesuatu tapi seperti tidak ada yang mampu menghentikannya, saat di mana dia bisa menjadi diri sendiri tanpa harus merasa tertekan. Arul percaya di detik itulah dia mendapatkan passion-nya, ketika bersanding dengan bola karet tersebut. Namun apa daya? Wanita ini apakah bersedia mendengarkan ucapan orang lain? Tentu tidak. Mama adalah sosok wanita yang sangat Arul cintai, sekaligus wanita yang paling Arul benci pula keegoisannya.

------
Halohalo🥺🤗❤ Robot Sang Peri Cinta sudah ch 97, hore!!!

Apa kabar sobat Cumi? Bisa share gimana perasaan kalian membaca cerita ini? Apa saja deh bebas ^^

Makasih^^

Posted : 27 September 2020

Robot Sang Peri Cinta✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang