"Denger baik-baik; cowok kalo nggak mandang fisik, berarti homo."
Sudah tiga hari sejak Anna meminta tolong—lebih tepatnya memaksa—Arul untuk mengajari bermain basket. Anna bukan seorang cewek pecinta olahraga, dia terpaksa melakukan itu entahlah dengan motif apa. Anna membenci Arul, meski sudah mengalahkan cowok itu dalam bidang akademik tetapi tetap saja kurang.
"Bound pass lo gagal terus." Arul menarik napas kasar. "Lo tuh fokus nggak sih, plastik?"
Anna terkesiap, baru menyadari bahwa pantulan bola teknik bound pass yang melibatkan tangkapan menggunakan tangan dan kaki yang harusnya ikut mundur tidak bergerak sama sekali. Anna bergeming. Bola yang tadi di-passing Arul memantul mundur menjauhi tubuh Anna. Arul tidak tahan.
Cowok tampan itu berjalan setengah berlari ke arah Anna, setelahnya mencengkram kedua bahu cewek itu. Tidak kasar dan keras, hanya bermaksud mengembalikan kesadaran Anna. ditatapi kedua pupil cokelat itu dalam-dalam. Sebuah bahasa yang hanya dapat dimengerti antara tumbukan antarnetra bergantung pada sedalam apa pantulan cahaya yang dapat diterima.
"Sebenarnya lo mikirin apa, sih? Bisa gak fokus sama apa yang ada di depan lo?"
"Napa?" Anna malah balik bertanya.
"Hah?"
"Kok lo segitunya mau ngajarin gue? Kan gue ini rival lo, gue mau ngalahin lo."
Arul memasang wajah datar. "Lo cewek pinter, kan? Tentu lo tau dong alasan kenapa gue bisa menjadi seorang kapten basket."
Anna menggeleng. "Gue nggak tau apapun tentang basket. Gue buta."
Wajah Anna kelihatan sangat polos dan linglung. Ucapannya sangat jujur. Arul awalnya hampir mau berkata kasar tetapi jadi sedikit tidak tega, lagipula sudah beberapa hari latihan Anna cukup memahami garis besar melakukan dribbling dan shooting. Hanya saja, untuk hari ini cewek itu sepertinya mendapat hambatan berat entah darimana.
"Gue bisa jadi kapten basket karena gue pandai menempatkan diri." Arul menjeda sedetik. Pandangannya jauh lebih fokus dan dalam. Tiba-tiba dia menunjuk Anna. "Ketika lo ketemu gue di lapangan, kita bebas latihan sebagai teman. Tapi kalo lo ketemu gue di pertandingan, gue nggak ragu buat berhadapan sama lo sebagai lawan. Olahraga itu sangat sportif dan kompetitif. Kalo nggak terbiasa, mending lo nyerah dari sekarang."
Anna meneguk saliva. Arul sangat mengedepankan profesionalitas, dia berada di dunia yang berbeda dengan Anna. Dunia Anna hanya sebatas belajar, belajar, dan belajar. Berusaha menjadi nomor satu. Individualis. Mengedepankan prestasi dan menjadi yang terbaik.
Tetapi ... dunia Arul tidak begitu. Dia juga seorang yang kompetitif dan ingin menjadi nomor satu, dengan caranya sendiri. Dengan kemampuannya dalam berbicara, dengan keterampilannya membaur, membangun tim, membentuk kekompakan, menjalin kebersamaan ... di sana Arul menemukan dunianya. Kesuksesan berbalut solidaritas. Menang tertawa, kalah pun tak mengapa. Mungkin itu yang menjadi jurang pembeda di antara mereka.
Meski ini sudah hari ketiga, banyak pembelajaran selain olahraga basket yang Anna dapatkan. Semua itu tidak dia temukan di kelas. Arul berbeda. Dia memang hebat dengan porsi pengalaman dan jam terbang selama ini.
Bisakah Anna mengalahkan sosok sekuat itu? Kalo pun bisa, bukankah itu hanya keberuntungan belaka? Atau sebuah kesia-siaan?
Karena Arul tidak akan mudah jatuh, hanya dengan satu kali kegagalan.
-----
Haii! Cumi double up lho buat hari ini:) Gimana gimana? Kalian suka ga? Komen yuk buat bikin cumi makin semangaaaatt🤪Salam manis dari Mbak Annandita
Posted : 29 Agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Robot Sang Peri Cinta✔
أدب المراهقين"Oi, plastik!" "Apa, bawang?" "Gue benci sama lo, plastik!" "Gue jauh lebih benci sama lo, bawang!" - Syahrul Abidzar Maulana (Arul), seorang cowok tampan, cool, ketua ekskul basket, bahkan termasuk jajaran most-wanted SMA Cattleya terlibat sebuah p...