Her Confession - 67

53 12 1
                                    

Hari pertama latihan. Tampak seorang cewek mengenakan baju olahraga dengan keringat bercucuran. Sebelahnya ada seorang cowok yang dengan lihai memainkan bola basket seakan meledeknya. Lagipula, sudah seharusnya si cowok pulang sekolah. Dia di sini hanya untuk alasan konyol yakni mengajari rivalnya sendiri.

Anna memasang wajah muram. Kesal. Kesal. Kesal. Kesal banget, sumpah!

"Lo tuh bisa dribble gak?"

Anna tak menjawab, itu bukan pertanyaan melainkan satire yang kejam.

"Kan gue bilang, jangan double!"

"Kin gii biling, jingin dibil!" Anna mengulangi perkataan itu sambil mendengkus. Arul melihat hal itu hampir saja mau ngakak. Entah kenapa, Anna sangat lucu. Diperhatikannya cewek itu yang tengah mengenakan kaus dan celana training SMA Cattleya, rambut ikal yang dikuncir rapih, poni yang lepek basah oleh keringat. Anna kelihatan kumal tetapi jadi agak seksi.

Anna melempar bola basket tersebut sembarangan lalu menghambur tas miliknya, mengeluarkan sebotol air minum lalu cepat-cepat meneguk habis. Dia kehausan. Ternyata bermain basket tidak semudah perkiraannya, ternyata mengalahkan si kapten basket bukanlah perkara sepele.

"Dengerin gue!" Arul menyeru dari kejauhan. "Pertama, jangan double. Kedua gak boleh bolak balik telapak tangan!"

Anna berdeham. "Iye!"

Detik berikutnya Anna kembali. Dia tidak pernah melakukan hal seniat ini sebelumnya. Lapangan sangat kosong, hanya ada mereka berdua. Sinar mentari sore terus menerus menerpa kulit Anna. Agak panas. Tetapi hatinya jauh lebih panas.

Arul tersenyum tipis. Tipis. Jauh lebih tipis dari sehelai benang di tukang jahit.

"Udah, lo nyerah aja," ujarnya sambil memutar bola basket menggunakan ujung jari telunjuk, sangat lihai.

"Gue nggak bakal nyerah!" balas Anna.

"Kenapa?"

"Semua yang berkaitan sama lo, gue nggak akan pernah nyerah." Anna mengembus napas sekali. "Karena gue sangat membenci lo."

Arul tertegun sekali. Belum pernah dia bertemu orang yang sebegitu niatnya ingin mengalahkan, menjatuhkan, bahkan menghancurkan dirinya. Motif Anna memang membenci, tetapi bahkan dia berani jatuh bangun segitunya hanya demi seorang Arul.

"Makasih."

"Kenapa makasih?"

Arul melempar bola basket ke atas lalu menangkapnya cepat. "Gapapa. Latihan lagi, buruan."

Anna merebut bola basket dari tangan Arul lalu memantulkan bola tersebut ke bawah. Sayangnya Anna kurang paham cara untuk membuat jarak kaki agar selebar dengan bahu, sehingga tekniknya menghasilkan dribbling yang sempurna gagal. Benar-benar sebuah hal ceroboh hingga bola basket yang tadinya berniat dipantulkan malah bergerak tidak beraturan.

Arul berdecak kecil, lalu mendekati Anna. Dari balik bahu Anna, Arul dengan menggunakan tangannya menarik tangan cewek itu lalu memantulkan bola tersebut secara seimbang. Anna terkesiap.

"Wah!"

Berhasil! Meskipun masih dibantu oleh seorang rivalnya sendiri.

Detik berikutnya, Anna tersadar bahwa posisinya masih di depan Arul. Cepat-cepat cewek itu menghindar dan lari. Dia tidak mau kelihatan senang dan berhutang jasa sedikit pun pada cowok menjijikan itu.

"Lo ... pasti nyari kesempatan dalam kesempitan, deh!"

Arul mengangkat bahu atas dugaan konyol barusan. "Nggak juga."

"Boong!"

"Ngapain boong? Ada Kiara yang jauh lebih cantik dari lo, gue gak tergoda sama dia. Apalagi lo."

"Zaman maju gini lo masih mandang cewek dari fisik?" Anna makin jijik. Dia tidak suka dengan orang-orang yang menganggap fisik nomor satu. Makanya meski penampilan Anna hanya berupa riasan make-up tipis sederhana dan lipgloss saja, tetapi dia bangga dengan keenceran otaknya. Ya, itulah harusnya yang menjadi sebuah tolak ukur penilaian seseorang. Sejauh mana dia dapat bertindak dan sebanyak apa prestasi yang dimiliki.

Di luar dugaan, Arul tertawa. "Gue rasa otak encer lo itu just a lucky. Lo berhasil juara 1 paralel karena Tuhan baik sama lo, mungkin Tuhan kasian kalo lo cuma jadi makhluk tanpa kelebihan apapun selain ngidolain plastik joget."

"Then lo sendiri ngerasa punya banyak kelebihan gitu padahal di rumah cuma ngehaluin makhluk 2D yang jelas-jelas wujudnya gak ada, hm?"

"Bukan kayak gitu maksud gue, Annandita." Arul menggeleng sekali. "Kalo lo emang cewek yang pinter, harusnya lo paham kan kalo lelaki itu makhluk visual?"

Jleb!

Benar juga.

Kenapa hal itu tidak Anna sadari? Bohong yang mengatakan kalau cinta datang tiba-tiba. Munafik kalau mengatakan tidak ada cinta pada pandang pertama. Sepertinya memang cinta itu berawal dari mata dan turun ke hati.

Hari itu, Anna mendapatkan satu pelajaran berharga yang tidak dia temui di kelas mana pun. Mematahkan idealismenya terhadap kaum lelaki. Kisah-kisah indah tentang cowok yang jatuh cinta pada gadis culun dan berakhir bahagia hanya tertuang dalam novel, kenyataannya tidak mungkin seperti itu.

"Denger baik-baik; cowok itu makhluk visual. Jadi kalo nggak mandang fisik cewek, berarti homo."

-----
Huwaa tidak terasa Robot Sang Peri Cinta udah sejauh ini^-^ gimana pesan & kesan kalian?

Kalo aku kasi challenge, mau ngga?

Challenge-nya gampang ko^-^

Komen yu!!!

Btw salam manis dari Kulkas berjalan, Bang Arul🤪

Btw salam manis dari Kulkas berjalan, Bang Arul🤪

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Syahrul Abidzar Maulana

Robot Sang Peri Cinta✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang