Jilid 33

1.9K 31 0
                                    

Jawaban ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah Ci Kong berobah merah sekali. Gilakah wanita ini? Dan dia memandang kepada wajah susiok-couwnya dan wajah kakek itu hanya tersenyum lebar, sama sekali tidak kelihatan kaget walaupun sebenarnya berita inipun tidak kalah hebatnya bagi kakek itu sendiri.

"Ha-ha-ha, alangkah aneh dan lucunya. Pinceng selama duapuluh tahun tidak pernah meninggalkan ruangan bertapa di Siauw-lim-si, dan tahu-tahu kini muncul tuduhan-tuduhan aneh, bukan hanya merampas Giok-liong-kiam, akan tetapi juga memperkosa wanita. Hemm....... nona Theng Ci, menurut penuturan mereka yang ikut memperebutkan pusaka itu, setelah pusaka dirampas orang yang seperti pinceng, mereka semua, termasuk engkau menuduh bahwa pinceng....... eh, orang itu, melakukan perkosaan?"

"Huh, engkau atau bukan, pokoknya orangnya persis engkau ini, tidak ada bedanya sedikitpun juga! Aku memang pergi seperti yang lain karena tidak berani berbuat sesuatu terhadap Siauw-bin-hud, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, apalagi karena lenyapnya pusaka itu tidak ada buktinya diambil oleh Siauw-bin-hud.

"Akan tetapi ketika aku pergi, malamnya tiba di hutan. Aku membuat api unggun dan tiba-tiba muncul engkau yang mempergunakan kepandaian menaklukkan aku, dan....... semalam itu engkau mempermainkan aku, memperkosa....... menghina....... uhh......."

"Theng Ci, kenapa engkau tidak memberitahukan hal itu kepadaku?" tiba-tiba gurunya membentak.

Theng Ci menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menahan tangisnya.

"Subo, maafkan aku. Hal yang begitu menghancurkan hatiku, bagaimana mungkin aku menceritakan kepada subo atau kepada siapapun juga? Hanya karena terpaksa dengan munculnya tua bangka ini, terpaksa aku bercerita."

"Omitohud.......!"

Siauw-bin-hud mengeluh walaupun mukanya masih penuh senyum.

"Tenanglah, nona....... dan cobalah nona lihat baik-baik kepadaku. Benarkah pinceng yang melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap dirimu? Tidak salah lagikah?"

Melalui mata yang basah, Theng Ci memandang wajah kakek itu, lalu sinar matanya menjelajahi tubuh kakek itu dari kepalanya yang gundul sampai ke sepatunya yang terbuat dari kain. Dan terbayanglah semua pengalamannya yang membuat hatinya sakit.

Entah sudah berapa puluh pria yang digaulinya, yang menjadi kekasihnya. Ia mudah bosan dan tentu saja ia selalu memilih pria yang ganteng dan tampan. Dengan pengaruhnya, dengan kepandaiannya mudah saja baginya untuk memilih pria yang disukainya.

Bahkan dengan kekejamannya, ia seringkali menaklukkan pria dengan paksaan dan ancaman sehingga pria itu karena takut mati terpaksa memenuhi hasrat dan nafsunya. Akan tetapi, pengalamannya ketika ia berada di dalam hutan itu sungguh membuat ia merasa muak, terhina dan sakit hati sekali.

Ketika itu, hatinya sudah dipenuhi kekecewaan mengingat betapa pusaka Giok-liong-kiam lepas dari tangannya. Padahal, tadinya ia sudah amat mengharapkan pusaka itu dapat dirampasnya. Pusaka itu sudah berada di tangannya! Akan tetapi, sungguh tak disangkanya akan muncul demikian banyaknya orang pandai yang ikut memperebutkan pusaka itu.

Apalagi setelah muncul Siauw-bin-hud, harapannyapun lenyaplah. Ia tahu diri dan seperti yang lain, tidak berani mengganggu kakek gendut itu, pertama karena iapun sudah mendengar akan kesaktian kakek ini yang mengatasi kelihaian Empat Racun Dunia. Kedua, siapa berani sembarangan mengganggu seorang tokoh besar Siauw-lim-pai? Dan ketiga, tak seorangpun melihat bahwa kakek ini yang merampas pusaka yang sedang diperebutkan itu.

Karena hatinya kesal, biarpun tubuhnya lelah sekali dan matanya mengantuk, ia tidak dapat tidur. Padahal, ia telah memilih tempat di bawah pohon dimana terdapat rumput hijau yang tebal dan ia sudah menghamparkan tikar di situ. Ia lalu duduk termenung di depan api unggun besar yang mengusir nyamuk dan hawa dingin.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang