Jilid 38

1.9K 30 0
                                    

"Ha-ha-ha, gagah-gagahan apa untungnya? Mundur dan jangan mencampuri urusanku dengan Siauw-bin-hud. Eh, Siauw-bin-hud, aku tidak perlu malu mengatakan bahwa sekali inipun aku belum mampu menandingimu. Nah, aku memenuhi janjiku tadi. Mari kita bicara tentang Giok-liong-kiam. Apa kehendakmu mengenai pusaka itu?"

"Ha-ha, engkau bersikap baik sekali, Thian-tok. Pinceng tidak tamak dan tidak butuh pusaka. Akan tetapi karena engkau merampas pusaka itu mempergunakan nama pinceng, atau setidaknya semua orang menyangka pinceng yang merampasnya, maka pinceng ingin membersihkan suasana. Serahkan pusaka itu kepada pinceng agar dapat pinceng kembalikan kepada yang berhak."

"Siapa yang berhak?"

"Karena pusaka itu dicuri orang dari pusat Thian-te-pai, maka tentu saja akan pinceng kembalikan kepada mereka."

"Uhh, tolol kalau kaukembalikan kepada mereka! Yang berhak memiliki pusaka itu adalah orang yang paling sakti di dunia ini. Siapa yang mampu memilikinya, dialah yang berhak menjadi pemiliknya."

"Ha-ha-ha....... tidak ada gunanya berdebat tentang pendapat, Thian-tok. Serahkan pusaka itu dan pinceng akan akan pergi."

"Heh-heh, tak kusangka engkau sebodoh ini, Siauw-bin-hud. Ketika engkau baru datang tadi, sudah kukatakan bahwa kedatanganmu terlambat. Baru pagi tadi pusaka itu hilang dari tanganku."

"Omitohud.......! Hilang lagi?"

"Bekas muridku yang amat pandai, mungkin lebih pandai dari pada aku sendiri, bernama Koan Jit, tadi datang dan mengambil pusaka itu. Kalau saja dia tidak lebih dulu datang dan melukai aku dengan pukulannya yang beracun, belum tentu sekarang aku sudah menyerah kalah padamu!"

"Omitohud! Muridmu sendiri yang merampasnya dan memukulmu? Hemm, dia bernama Koan Jit? Dimanakah tempat tinggalnya?"

"Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud. Engkau seperti nenek-nenek bawel saja dalam bertanya. Dimana dia? Mana aku tahu? Cari saja sendiri, nama Hek-eng-mo tidak sukar untuk dikenal."

Siauw-bin-hud mengangguk-angguk.

"Hek-eng-mo! Hemmm, terima kasih, Thian-tok, selamat tinggal."

Kakek gendut itu sambil tersenyum lalu menjura ke arah kakek gendut lainnya yang masih duduk bersila, kemudian memberi isyarat kepada Ci Kong untuk pergi meninggalkan tempat itu. Dua orang murid Thian-tok tidak berani mengganggu dan hanya mengikuti gerakan dua orang itu dengan pandang mata sampai mereka lenyap di sebuah tikungan.

Setelah dua orang itu pergi, Thian-tok memandang kepada dua orang muridnya. Mulutnya masih menyeringai, akan tetapi sekarang nampak bahwa kakek ini menderita kesakitan yang ditahan-tahan sejak tadi.

"Siu Coan dan Seng Bu, mulai hari ini kalian boleh turun gunung dan berpencar. Kalian kuberi tugas untuk mewakili aku, mencari Koan Jit dan berusaha merampas kembali Giok-liong-kiam sebelum keduluan orang lain.

"Hati-hati, setelah kini Siauw-bin-hud tahu, tentu tugas kalian akan menjadi semakin berat karena akan terdapat banyak saingan. Siapa di antara kalian yang berhasil membawa Giok-liong-kiam kepadaku, akan kuwarisi ilmu pedang yang cocok untuk dimainkan dengan Giok-liong-kiam, dan dia yang akan menjadi pemilik Giok-liong-kiam. Nah, pergilah kalian, aku harus mengaso dan bertapa lagi untuk mengobati lukaku."

"Tapi, suhu. Kemanakah aku harus mencari suheng Koan Jit itu?" Siu Coan bertanya.

"Ha-ha, kalau engkau pintar, tidak akan sukar mencari murid murtad itu. Julukannya Hek-eng-mo, dia haus akan kedudukan, ingin menjadi jago nomor satu di dunia, dan aku sendiri tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Akan tetapi ada dua hal yang patut kauingat dan selidiki.

"Dia sahabat baik Pai-cu (ketua) dari perkumpulan wanita Ang-hong-pai, dan dia musuh besar perkumpulan Thian-te-pai. Agaknya karena permusuhannya itulah yang membuat dia ingin memiliki Giok-liong-kiam yang pernah menjadi pusaka Thian-te-pai. Sudahlah, aku tidak tahu apa-apa lagi. Kalian pergi dan selidiki sendiri."

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang