Jilid 175

1K 20 0
                                    

Selamanya ia sendiri belum pernah jatuh cinta, akan tetapi sudah banyak melihat pandang mata laki-laki penuh gairah cinta ditujukan kepadanya. Namun, baru sekaranglah pandang mata laki-laki seperti itu membuat ia termenung. Ci Kong cinta padanya, dan ia?

"Ceng lihiap......."

Ceng Hiang sadar dan lamunannya. Tadipun ia sudah mendengar suara itu, akan tetapi suara itu memasuki lamunannya dan seolah-olah menjadi bagian dan lamunannya. Kini ia tersadar dan menengok. Dua pasang mata bertemu pandang. Matahari sudah turun ke barat, namun cahayanya yang redup masih menerangi taman itu.

"Aih, Tan-toako.......!" serunya sambil bangkit berdiri, namun jantungnya berdebar tegang.

la sedang melamun tentang pemuda ini, dan tahu-tahu pemuda ini muncul di dalam taman itu, sendirian saja! Dan pandang matanya itu, begitu penuh dengan pancaran cinta kasih sehingga diam-diam ia merasa terharu dan tegang. Namun Ceng Hiang menekan perasaannya dan tersenyum ramah.

"Aih, Tan-toako, engkau mengejutkan hatiku saja. Kenapa masih menyebut lihiap padaku? Bukankah kita ini sudah menjadi sahahat baik, seperti kakak dengan adik saja?

"Maaf, aku merasa janggal kalau harus menyebut adik. Kurasa sepantasnya aku menyebut lihiap atau siocia. Engkau engkau terlalu tinggi untukku."

"Ah, jangan berkata demikian, toako. Aku tidak merasa lebih tinggi atau engkau lebih rendah. Bagaimana aku bisa memandang rendah kepadamu, engkau yang sudah menolong keluarga kami dari malapetaka? Engkau sudah menyelamatkan kami, mungkin nyawa ayah......."

Dengan suara gemetar Ci Kong berkata.

"Demi engkau, aku rela berkorban nyawa sekalipun."

Sudah lama Ci Kong menanti-nanti kesempatan untuk mengucapkan kalimat ini. Dan kini kesempatan itu tiba, maka dia mengucapkannya dengan suara menggetar, dan Ceng Hiang mendengarkan dengan hati terharu.

Ia tidak merasa terkejut maupun heran, karena ia sudah dapat menduga akan isi hati pemuda ini. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda ini sekarang akan berterus terang tentang perasaannya.

"Aihh, sudahlah, toako. Aku sudah tahu akan kemuliaan hatimu. Engkau seorang pendekar budiman yang akan merelakan nyawa demi membela kebenaran dan keadilan, dan mengulurkan tangan untuk menolong siapa saja. Nah, sekarang katakan. Hanya kebetulan saja engkau memasuki taman ini untuk menikmati bunga, ataukah ada keperluan lain dengan aku?"

"Maaf kalau aku mengganggumu. Terus terang saja, aku sudah menunggu-nunggu kesempatan ini, untuk dapat bicara berdua saja denganmu."

Ceng Hiang masih berpura-pura tidak tahu.

"Aih, engkau aneh, Tan-toako. Bicara berdua saja denganku? Wah, ada rahasia apakah ini? Mari duduk, dan bicaralah."

Ceng Hiang sebetulnya merasa tegang hatinya dan kedua kakinya agak menggigil, maka iapun menjatuhkan diri duduk kembali di atas bangku. Ci Kong tidak duduk, melainkan berdiri di depannya. Jantung di dalam dada pemuda ini berdebar keras, wajahnya menjadi agak pucat akan tetapi dia memaksa diri, mengisi hatinya dengan keberanian yang dianggapnya nekat, dan diapun berkata, suaranya lirih dan agak gemetar.

"Maaf, Ceng-lihiap....... terus terang saja, sejak pertemuan kita yang pertama kali dahulu itu, lalu disambung pertemuan berikutnya, aku seperti tergila-gila kepadamu. Wajahmu yang cantik, suaramu, gerak-gerikmu, semua terbayang di depan mata setiap saat, sukar bagiku untuk melupakannya. Ahh, bisa gila aku kalau perasaan ini terus kutahan-tahan, karena itu....... melihat kesempatan ini, biarlah aku berterus terang saja. Aku....... aku cinta padamu, lihiap......."

Suasana menjadi hening sekali setelah Ci Kong berhenti bicara. Pemuda itu masih berdiri di depan gadis itu, menunduk dan memandang wajah itu dengan sinar mata penuh harap, namun juga penuh kegelisahan, karena baginya agaknya tidak mungkin puteri pangeran itu dapat cinta kepada semang miskin seperti dia.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang