Jilid 69

1.3K 26 0
                                    

Setelah menolong Kui Eng dan berpisah dari gadis itu di luar kota Tung-kang setelah gadis itu yang tadinya salah paham tahu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-bin-hud dan telah menyelamatkannya, Ci Kong lalu berkelana. Dia menjumpai banyak peristiwa yang menyedihkan sewaktu terjadi Perang Candu.

Dan di dalam pergolakan dan kekacauan yang terjadi selama tiga tahun itu, Ci Kong bersikap sebagai seorang pendekar sejati. Dia menentang siapa saja yang melakukan kekejaman dan kejahatan, membela yang lemah tertindas. Sesuai dengan ajaran kakek Siauw-bin-hud, pemuda ini tidak pernah mau melibatkan diri dalam perang, melainkan bertindak tegas sebagai seorang pendekar pembela keadilan berdasarkan perikemanusiaan, tidak mencampuri urusan politik dan negara.

Betapapun juga, dia tahu akan segala yang telah terjadi tentang penyerbuan pasukan kulit putih dan lemahnya kaisar. Diapun tahu bahwa akibat sikap kaisar yang lemah, kaum kulit putih menjadi semakin berani untuk memperlebar jaringan perdagangan mereka yang merusak rakyat, yaitu perdagangan candu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan hati nuraninya, maka beberapa kali, seorang diri Ci Kong menggunakan kepandaian untuk mencuri sejumlah besar candu dan membakarnya di dalam hutan.

Dia membayangkan dengan hati ngeri betapa para nelayan yang pada malam hari itu kebetulan berada di tengah lautan tentu sedang berjuang mati-matian melawan amukan badai, bahkan dengan hati penuh iba dia membayangkan pula perahu yang dihadangnya itu, perahu yang kabarnya akan menyelundupkan candu dari kapal orang kulit putih. Ketika mendapat kenyataan bahwa tidak ada sebuahpun perahu yang mendarat malam itu, dia menduga bahwa tentu perahu penyelundup itu karam oleh badai, atau mungkin juga membatalkan pelayaran. Dia menanti sampai hampir pagi, berlindung di dalam sebuah guha di antara batu-batu besar dari hembusan angin badai yang keras, dan menerangi guha itu dengan sebuah obor.

Kemudian, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Terkejutlah hatinya ketika mendengar jerit yang datangnya dari pantai itu. Tentu ada perahu yang berhasil dihempaskan badai ke pantai, pikirnya. Dan tentu orang-orang itu membutuhkan pertolongan. Dia lalu membawa obor dan meloncat ke luar guha, berlari menuju pantai sambil berteriak menanya siapa yang berada di pantai dan mengapa ada suara wanita menjerit.

Karena pandang matanya silau oleh sinar obor yang dipegangnya sendiri, dan cuaca masih amat gelap, maka Ci Kong hanya remang-remang melihat seorang laki-laki meloncat bangun dan di bawah seperti ada wajah seorang wanita. Akan tetapi dia tidak sempat memperhatikan, karena tiba-tiba saja laki-laki itu menyerangnya dengan dahsyat. Dia terkejut bukan main. Serangan itu bukan serangan sembarangan saja, melainkan pukulan-pukulan yang amat dahsyat dan berbahaya.

Dari angin pukulannya saja, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang berilmu tinggi. Maka diapun cepat bergerak melakukan elakan dan tangkisan. Demikian hebatnya serangan orang itu sehingga obornya terpental, terlempar dan padam. Akan tetapi dia berhasil menghindarkan serangan maut itu dengan tangkisan-tangkisan, dan mendapat kenyataan ketika lengannya bertemu dengan lengan penyerang itu bahwa penyerangnya memiliki dan menggunakan tenaga sin-kang yang kuat dalam penyerangannya tadi.

Selain terkejut dan heran mendapat seorang lawan yang demikian tangguhnya di tempat sunyi ini, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, Song Kim juga menjadi penasaran dan marah sekali.

"Keparat yang bosan hidup!" bentaknya, dan diapun sudah menyerang lagi, kini menggunakan sepasang belati yang selalu terselip di pinggangnya!

"Mampuslah.......!" bentaknya.

"Hemmm.......!"

Ci Kong dapat merasakan sambaran senjata itu walaupun dia tidak dapat melihat lawannya mempergunakan senjata. Pendengarannya sudah terlatih dengan baik sekali sehingga dia mampu membedakan antara suara senjata-senjata dan tangan kosong.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang