Jilid 6

3K 50 0
                                    

"Ciu Wangwe, saya tidak menghina seseorang!"

"Ciangkun..... bukankah tulisannya itu menghina sekali?"

"Maaf, saya maksudkan pedagang madat pada umumnya, bukan pribadi dan saya hanya menggambarkan kenyataan....."

Siucai terhuyung ke belakang dan bangku alat tulisnya berantakan.

"Dukk.....!"

Sebuah tendangan membuat sasterawan itu roboh ketika kaki kiri yang besar dari Ma-ciangkun menyambar.

Tiba-tiba terdengar teriakan.

"Ayaaaah.....!"

Seorang anak laki-laki lari menerobos masuk dari luar halaman. Dia adalah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh tahun, berpakaian sederhana dan bermata lebar.

"Ci Kong..... pergilah..... jangan ke sini.....!"

Tan-siucai mengeluh dengan penuh kegelisahan melihat puteranya yang datang itu. Akan tetapi Ci Kong, anak itu, cepat lari naik ke ruangan depan dan menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Ma-ciangkun dan Ciu Wan-gwe.

"Harap tai-jin sudi mengampuni ayahku.....!"

Dengan lagak congkak, Ma-ciangkun kembali mengangkat kaki kiri menginjak punggung Tan-siucai, dan tangan kanannya yang besar itu menempel di kepala anak yang berlutut di depannya.

"Bocah setan, berani kau mencampuri? Sekali cengkeram, kepalamu akan dapat kuhancurkan!"

"Setan cilik! Ayahmu ini kurang ajar, sudah menghinaku, dia pantas dihukum, bahkan patut dibunuh!" bentak Ciu Wan-gwe marah, menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Tan-siucai dan mengamankan gagang kemocing di tangan kanan.

"Ampun, tai-jin. Untuk kesalahan ayah, biarlah aku yang menebus dosanya. Hukumlah aku, akan tetapi bebaskan ayah....." Ci Kong meratap.

Bukan main terharu rasa hati Tan-siucai.

"Anakku..... aahhhh, engkau..... jangan begitu..... kau pergilah....."

Akan tetapi Ci Kong bangkit dan berlutut lagi.

"Ampunkan ayahku, ampun....." ratapnya.

Anak ini memiliki keberanian luar biasa seperti ayahnya. Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi dia takut kehilangan ayahnya.

Pada saat itu, terdengar seruan nyaring.

"Ayah.....!"

Muncullah seorang anak perempuan dari dalam gedung Ciu Wangwe. Anak itu berusia sekitar enam tahun, berwajah manis sekali dengan sepasang mata yang tajam dan lebar. Pakaiannya indah dari sutera halus, rambutnya dikuncir dua yang bergantungan di kanan kiri.

Anak itu berhenti berlari ketika melihat Tan-siucai masih rebah babak belur dan berlumuran darah. Ci Kong yang berlutut dan meratap mintakan ampun bagi ayahnya. Setelah tertegun sejenak, anak perempuan itu lalu lari menghampiri Ciu Wan-gwe dan memegang tangan orang tua itu.

"Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa ayah marah-marah dan siapa mereka ini? Apa yang telah mereka lakukan maka ayah agaknya menghajar mereka?"

"Siapa yang tidak jengkel, anakku. Sasterawan jembel ini berani menghinaku dengan tulisannya."

"Tulisan apakah, ayah? Boleh aku melihatnya?"

Ciu Wan-gwe amat sayang kepada puteri bungsunya ini. Ciu Kui Eng, demikian nama anak itu, memang amat cerdas dan menyenangkan hati, selain jelita dan manis, juga biarpun disayang tidak menjadi manja. Yang mengagumkan hati ayahnya adalah karena anak ini selalu bersikap berani dan tegas, bahkan bijaksana sekali.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang