Jilid 111

1.1K 21 0
                                    

Mereka menjadi malu-malu dan berusaha menutupi pakaian dan membereskan rambutnya. Akan tetapi, mana mungkin membereskan pakaian yang seperti itu? Pakaian mereka itu adalah pakaian tidur yang memang diharuskan oleh Siu Coan untuk mereka pakai setiap malam.

Terbuat dan kain tipis berwarna muda yang tembus pandang dan di bawah pakaian itu tidak ada pakaian apa-apa lagi. Juga potongannya sederhana sekali, hanya dibelitkan pada pundak saja.

"Heh-heh-heh, sungguh engkau hidup enak sekali di sini, Siu Coan! Ini semua selirmu?"

Siu Coan tersenyum.

"Mereka adalah pelayan-pelayanku, suhu. Akan tetapi kalau suhu menyukai mereka, suhu boleh memilihnya."

"Ha-ha-ha-ha, sungguh enak sekali hidupmu. Biarlah nanti saja, sekarang mari kita makan minum lalu bicara."

Siu Coan memerintahkan tujuh orang wanita cantik itu untuk menyediakan makanan dan arak, dan sebentar saja semua hidangan itu telah dipersiapkan di dalam kamar itu. Diam-diam Thian-tok merasa kagum. Memang cepat sekali muridnya ini memperoleh kemajuan dan hidupnya sungguh senang, akan tetapi dibandingkan dengan apa yang baru saja dilihatnya di atas genteng tadi, ini masih belum apa-apa!

Dilayani oleh wanita-wanita yang cantik dan muda dan berbau harum itu, Thian-tok makan minum sepuasnya. Setelah semua bekas makanan dibersihkan, Siu Coan mengajak suhunya untuk bercakap-cakap di sebuah ruangan dimana tidak akan ada orang lain yang dapat mengintai atau mendengarkan percakapan mereka.

"Kunjungan suhu yang tiba-tiba ini amat mengejutkan hati teecu. Tentu ada keperluan penting sekali, suhu."

"Tentu saja. Kalau tidak penting, untuk apa aku susah payah datang ke sini? Siu Coan, aku datang untuk membunuhmu!"

Kalau ada kilat menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Siu Coan akan sekaget seperti ketika mendengar omongan gurunya. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia sudah meloncat berdiri, siap untuk melarikan diri atau memanggil para pengawal untuk membela diri. Biarpun yang akan membunuhnya itu gurunya sendiri, dia tidak akan sudi menyerah begitu saja.

"Akan tetapi kenapa, suhu?"

Kakek itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak jadi membunuhmu sekarang, pikiranku sudah berubah lagi."

Siu Coan bernapas lega, akan tetapi mukanya masih pucat. Celaka, kakek ini sungguh membikin hatinya kecut sekali, nyawanya seperti dipakai mainan saja! Biarpun dia itu gurunya, kalau sekiranya membahayakan dirinya, dia tidak akan segan-segan untuk membunuhnya!

"Suhu, sungguh teecu merasa heran bukan main. Apakah dosaku terhadap suhu maka suhu bersusah payah datang hendak membunuhku?"

Akan tetapi suhunya tidak menjawab, melainkan menatap wajah muridnya itu dengan tajam penuh selidik, lalu bertanya.

"Siu Coan, apakah engkau telah merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit?"

Siu Coan terkejut dan menggeleng kepala.

"Tidak, suhu....... sama sekali belum. Bahkan aku belum sempat bertemu dengan dia. Kedudukannya kuat sekali di dalam pasukan Inggeris."

"Dan apakah engkau menyimpan sebuah pusaka lain yang ampuh?"

"Pusaka? Pusaka apa, suhu? Aku tidak mempunyai pusaka apapun."

Gurunya memandangnya penuh selidik.

"Sungguh tidak punya? Mau kau bersumpah bahwa engkau tidak menyimpan pusaka ampuh di dalam kamar ini?"

'Tidak, suhu. Sunguh mati. Untuk apa aku berdusta kepada suhu?"

"Wah, kalau begitu, kiong-hi (selamat)......."

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang