Jilid 153

1K 20 3
                                    

Dia sudah hampir lupa akan suara orang-orang yang mengasihi, karena sejak kecil dia sudah terpisah dan ayah bundanya, dan semenjak kecil dia hidup di lingkungan orang-orang yang selalu mempergunakan kekerasan, dimana tidak pernah bergema suara yang mengandung kasih sayang. Oleh karena itu, mendengar suara ini, dia tertegun.

Akan tetapi, dia segera teringat bahwa di tempat ini terdapat orang yang akan mengenalnya, kemudian akan mengkhianatinya. Semua orang merupakan musuh baginya, merupakan ancaman bagi keselamatan dirinya. Maka, kemarahan dan kebencian menyelubungi hatinya, mengusir perasaan haru yang tergerak dalam hatinya mendengar kelembutan suara penuh kasih sayang tadi.

"Orang tua, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuh setiap orang yang kujumpai. Tanpa kusengaja aku bertemu dengan engkau di sini, maka engkaupun akan kubunuh sekarang juga!" demikian katanya dengan bengis dan keren, sambil melangkah maju.

"Omitohud....... orang muda yang gagah perkasa. Engkau kira engkau ini siapakah maka akan dapat membunuh yang hidup? Hidup dan mati bukanlah urusan pinceng, akan tetapi jangan engkau mengira bahwa engkau akan mampu membunuh kehidupan.

"Mungkin engkau akan dapat membunuh pinceng, akan tetapi yang mati hanyalah tubuh seorang hwesio tua yang tiada artinya. Dan siapa bilang bahwa kematian akan mengakhiri segala duka? Siapa bilang bahwa dengan membunuh pinceng atau orang lain, engkau akan terlepas dari pada himpitan yang menekan batinmu itu......."

Mendengar ucapan itu, Koan Jit mengerutkan alisnya. Seperti diingatkan dia betapa membunuh banyak orang yang dijumpainya selama ini, sama sekali tidak melenyapkan kegelisahannya, bahkan menambah. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat lain. Orang ini, seperti yang lain, harus dibunuhnya, kalau tidak, keselamatannya akan terancam.

"Hwesio tua....... apapun pendapatmu, tetap saja engkau harus kubunuh. Itulah satu-satunya jalan bagiku! Tentu saja engkau boleh membela diri, karena melihat batu itu, aku percaya bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian. Nah, hanya engkau atau aku yang akan kalah dan mati. Bersiaplah!"

"Nanti dulu, orang muda. Sudah lama pinceng melepaskan nafsu membunuh, dan pinceng sudah merasa bosan untuk mempergunakan kepandaian dalam perkelahian yang tiada gunanya. Pinceng tidak akan melawan kalau engkau hendak membunuh pinceng, hanya pinceng tidak ingin ilmu baru yang pinceng ciptakan baru-baru ini akan lenyap begitu saja bersama pinceng.

"Oleh karena itu, sebelum engkau membunuhku, pinceng mempunyai sebuah permintaan, yaitu engkau terima dan warisilah ilmu baruku itu. Setelah itu, barulah pinceng akan dapat mati dengan tenang karena ilmu yang selama ini pinceng ciptakan dengan susah payah itu sudah diwarisi orang. Bagaimana?"

Mendengar permintaan ini, Koan Jit mengerutkan alisnya. Dia memiliki banyak musuh. Menghadapi Thian-tok saja, dan tentu juga tokoh-tokoh Empat Racun Dunia, dia tidak akan menang. Dia perlu memiliki ilmu-ilmu yang sakti dan dahsyat. Dia menduga bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan.

Dia akan melihat seperti apa ilmu itu. Kalau memang merupakan ilmu kesaktian yang dahsyat, tiada salahnya kalau dia mewarisinya. Sebaliknya kalau ternyata ilmu yang dangkal dan tiada gunanya, masih belum terlambat untuk membunuh kakek itu.

"Baiklah, aku suka menerima warisan ilmumu itu. Setelah itu, baru aku akan membunuhmu."

"Siancai....... legalah hati pinceng. Ilmu silat baru ini pinceng beri nama Ilmu Silat Kebahagiaan, hanya terdiri dari duabelas jurus. Nah, kau lihat baik-baik. Pinceng hendak memainkan duabelas jurus Ilmu Silat Kebahagiaan itu."

Diam-diam Koan Jit merasa geli dan memandang rendah. Ilmu silat yang namanya aneh begitu, apalagi hanya duabelas jurus, ada apanya sih yang hebat? Akan tetapi, dia memandang penuh perhatian ketika kakek itu bangkit.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang