Jilid 2

4K 58 0
                                    

Ia sendiri merasa heran mendengar suaranya yang mencaci maki suaminya. Selama menjadi istri Siauw Teng, baru sekarang ia berani memaki karena hatinya diliputi kegelisahan dan kemarahan. Akan tetapi dua orang utusan itu sudah menariknya keluar dari rumah.

Si kecil menjadi bingung dan ketakutan melihat ibunya diseret dua orang itu.

"Ayah.....! Ayaaah.....!" Ia merengek.

"Diam kau! Duduk!"

Tiba-tiba Siauw Teng membentak tanpa membuka matanya, dan anak itu terkejut, lalu terduduk di atas lantai, mengangkat muka memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak berlinang air mata.

Tidak lama kemudian Siauw Teng berhenti menghisap madat. Ketika dia membuka mata dan melihat puterinya yang kecil masih duduk di atas lantai mengangkat muka, memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang dibuka lebar-lebar tanpa berkedip, dia terkejut dan baru teringat betapa tadi dia membentak puterinya dan anak itu masih duduk sampai saat itu. Diapun cepat turun dari atas balai-balai dan merasa menyesal atas sikapnya terhadap puterinya tadi.

Hatinya gembira sekali rasanya, hal yang selalu dirasakannya setelah dia menghisap madat sepuasnya. Pikiran menjadi tenang dan ringan, tubuh rasanya seperti melayang di udara, segala sesuatu yang dilihatnya nampak indah, cerah berseri-seri, dan telinganya juga mendengar bunyi-bunyi yang menjadi merdu dan indah. Dunia di sekelilingnya nampak indah bukan main setelah badannya puas menerima racun madat.

Tidak ada sedikitpun keresahan mengganggu pikirannya yang menjadi kosong dan bebas! Diangkatnya tubuh anaknya tinggi-tinggi dengan kedua tangannya yang menyangga di bawah ketiak anak itu.

"Ayah, ibu tadi dibawa kemana?"

Siauw Teng membawa anaknya duduk di atas balai-balai, tersenyum membelai rambut anaknya yang dibagi menjadi dua sanggul kecil di kanan kiri kepalanya.

"Lian Hong, jangan khawatir. Ibumu hanya pergi bekerja membantu kesibukan keluarga Ciu yang akan menikahkan puterinya. Akan ada pesta besar di sana, dan nanti kita datang ke pesta itu. Wah, ramai sekali, selain makanan yang enak-enak, juga kita akan menonton pertunjukan tari-tarian."

"Aku ikut, ayah!"

Anak itu menjadi gembira kini, tidak khawatir lagi setelah melihat ayahnya bersikap biasa. Hatinya muak dan tidak suka mencium bau merangsang dan aneh dari tubuh dan mulut ayahnya, bau madat, akan tetapi ia tidak berani menegur karena anak ini sudah cukup tahu bahwa kesukaan ayahnya adalah menghisap madat, kesukaan yang seringkali ia lihat menjadi sebab pertengkaran antara ayah dan ibunya.

"Tentu saja engkau ikut! Aku, ibumu dan engkau. Kita akan mengenakan pakaian-pakaian baru dan....."

"Mana pakaian barunya, ayah?" Anaknya memotong.

Siauw Teng teringat, lalu merangkul anaknya sambil tertawa.

"Jangan khawatir, Ciu Wan-gwe yang baik hati akan memberi kepada kita."

Diapun mencium lagi puterinya, dan sekali ini Lian Hong tidak dapat menahan rasa tidak sukanya akan bau madat itu.

"Ayah menghisap madat lagi," pancingnya.

"Heh-heh, benar, dan ayah gembira sekali."

"Baunya tidak enak!"

"Biarkan aku mencobanya, ayah..... mencoba menghisap madat."

Anak ini tahu benar bahwa ia dilarang keras meniru ayahnya, baik oleh ayahnya maupun oleh ibunya. Kini ia sengaja memancing untuk menyatakan rasa tidak sukanya melihat ayahnya menghisap madat.

"Akan tetapi mengapa ayah boleh dan aku tidak?"

Anak itu mendesak dengan suara mengandung penuh teguran dan penasaran. Tanpa disadarinya, Siauw Teng merasa betapa perasaan hatinya tertusuk. Dia bukan seorang bodoh. Dan dia dahulu terkenal sebagai seorang gagah yang selalu menentang kejahatan dan ketidakadilan.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang