Jilid 1

8.9K 121 3
                                    

"Teng-ko, sejak tadi engkau menghisap madat sampai rumah ini baunya seperti kebakaran. Dari mana engkau memperoleh uang untuk membeli madat begitu banyak? Kemarinpun engkau sudah menghisap madat seharian, dan sekarang lagi. Dan aku melihat bungkusan berisi madat. Suamiku, bagaimana engkau bisa mendapatkan madat begitu banyak, sedangkan barang-barang kita sudah habis kau jual?"

Wanita itu masih muda, paling banyak tigapuluh tahun usianya. Biarpun pakaiannya bersahaja, wajahnya membayangkan kemiskinan, rambutnya kusut dan tubuhnya agak kurus, namun ia termasuk wanita yang cantik manis raut wajahnya, dan tubuhnya yang agak kurus itu padat semampai.

Seorang wanita dengan daya tarik yang masih kuat. Akan tetapi kini wajahnya muram dan sinar matanya heran dan marah ketika ia menegur suaminya yang enak-enak duduk bersila sambil menghisap madat dari cangklong bambu yang besar itu. Disulutnya tembakau campur madat yang diselipkan di tempat tembakau yang nampaknya seperti cabang yang menonjol keluar di tengah pipa bambu, lalu disedotnya.

Terdengar suara menderodot disertai suara gluk-gluk. Asap tembakau madat itu melalui air, terus masuk ke mulut, langsung menembus tenggorokan memenuhi paru-paru, dihisap oleh darah di tubuh yang tak berbaju itu.

Matanya terpejam dan dia seolah-olah tidak mendengar teguran istrinya, bahkan agaknya dia sudah lupa sama sekali akan dunia di sekitarnya, terbuai oleh pandangan khayal indah yang muncul karena pikiran dan syarafnya sudah dikuasai oleh racun madat.

Pria itu bertubuh kurus, akan tetapi masih nampak bekasnya bahwa dahulunya dia tentu bertubuh tegap. Masih nampak otot menonjol di balik kulit yang hampir tak berdaging lagi itu, dadanya bidang akan tetapi kini kedua pundaknya menurun. Wajahnya juga tidak boleh disebut buruk.

Tidak, pria ini tadinya tentu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan gagah. Bahkan melihat keadaan buku-buku jarinya, pergelangan tangannya, nampak tulang-tulang menonjol dan kulit yang menebal, tanda dia banyak melakukan latihan ilmu silat yang mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar).

"Teng-ko, jawablah aku!"

Cin Hwa, istrinya, berteriak dengan hati kesal dan iapun memegang pundak suaminya yang telanjang itu dan mengguncangnya beberapa kali.

Tubuh yang sedang dibuai asap madat itu terguncang dan kedua matanya dibuka perlahan, seperti mata orang yang hampir tidak kuat menahan kantuk.

Hanya sedetik saja dia membuka mata memandang kepada istrinya dengan sinar mata tidak mengenal, lalu dipejamkannya lagi matanya. Akan tetapi kedua tangannya dengan cekatan dan otomatis sudah memilin-milin tembakau campur madat lagi untuk dipasang di tempat tembakau.

"Teng-ko! Dengarkan aku dan jawablah atau..... akan kubuang pipamu ini!" Cin Hwa berteriak dan mengguncang pundak suaminya semakin kuat.

Sekali ini Siauw Teng membuka matanya, dilebarkan seperti orang tidur yang terganggu dan terkejut.

"Aih, engkau? Ada apakah? Mengapa kau ganggu aku yang sedang menikmati madat?"

"Suamiku....." Cin Hwa menahan kesabarannya. "Kenapa engkau sekarang menjadi begini? Aku bertanya kepadamu, dari mana engkau memperoleh uang, kenapa tidak engkau beli lagi perabot-perabot rumah kita yang sudah kau habiskan? Kenapa tidak kau beli pakaian untuk kita, untuk anak kita? Dan beras?"

Laki-laki itu dengan muka penuh kesabaran tersenyum, akan tetapi kedua tangannya kini sibuk mengisi lagi pipanya dengan tembakau madat.

Sepasang mata wanita itu terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat, matanya memandang wajah suaminya penuh selidik.

"Ciu..... Ciu Lok Tai, pedagang madat itu? Mengapa dia memberi madat kepadamu..... hayo ceritakan, apa maunya.....!"

Wanita itu teringat betapa hartawan itu pernah datang ke rumah mereka, bercakap-cakap dengan suaminya, akan tetapi matanya yang berminyak itu selalu ditujukan kepadanya secara kurang ajar sekali. Dan kini hartawan itu, yang ia dengar dari para tetangganya merupakan seorang laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu anak istri orang dengan mempergunakan hartanya, telah memberi madat demikian banyaknya kepada suaminya. Suami itu memandang dengan sikap heran.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang