Jilid 54

1.5K 23 0
                                    

Akan tetapi, secara aneh sekali Sheila melihat betapa pemuda itu, kini topi bambunya terlepas dari kepala dan tergantung dengan tali ke punggungnya, berloncatan seperti seekor burung saja, menyelinap di antara sinar golok, dan begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangannya, terdengar teriakan-teriakan keras dan tiga orang penjahat itu tahu-tahu sudah terlempar ke kanan kiri dan terbanting roboh tak mampu bangkit kembali!

Entah mati entah hidup, akan tetapi jelas bahwa mereka bertiga itu diam tak bergerak-gerak walaupun tidak nampak ada luka di tubuh mereka. Pemuda gagah perkasa itu menyambar sebatang golok yang terlepas dari tangan pemiliknya.

Sheila tidak mengenal pemuda itu dan tidak tahu orang macam apa adanya pemuda itu. Melihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang pengeroyoknya dan kini memegang golok, hatinya menjadi ngeri dan tanpa banyak cakap lagi, ia lalu menggerakkan kakinya dan lari pontang-panting.

Robeknya gaun bagian depan sebatas paha itu malah menguntungkan baginya, karena ia dapat berlari kencang dengan langkah lebar. Karena kebingungan dan ketakutan, Sheila malah lari kembali ke arah kereta. Melihat tubuh ayah ibunya yang masih menggeletak di dekat kereta, Sheila menjerit dan lupalah ia akan rasa takutnya.

Ia lalu lari menghampiri mayat-mayat itu dan menubruk mayat ibunya, menangis mengguguk.

"Ibu....... bawalah aku....... bawalah aku.......!" Tangisnya.

Tiba-tiba sebuah tangan yang amat kuat menangkap pergelangan lengan kanannya, dan Sheila seketika menghentikan tangisnya. Tubuhnya tiba-tiba ditarik ke atas dan ia terpaksa bangkit berdiri.

Dengan air mata berlinang dan muka pucat sekali, ia menatap wajah orang yang menariknya. Rasa takutnya berkurang ketika ia melihat bahwa yang menariknya bangun dan kini memegang lengan kirinya itu bukan lain adalah pemuda yang tadi merobohkan tiga orang jahat itu.

Sheila terbelalak menatap wajah pria itu, wajah yang gagah sekali akan tetapi yang pada saat itu diliputi kekerasan, kejantanan yang mengagumkan akan tetapi juga mengerikan. Apalagi melihat tangan pria ini memegang sebatang golok yang demikian tajam dan runcing.

"Le....... lepaskan aku......." kata Sheila lirih dan memelas.

Pria itu mengendurkan pegangannya, agaknya rasa halus dan lunak dan hangat dari lengan yang dipegangnya itu mengejutkan dan membuatnya risi. Akan tetapi dia tidak melepaskan pegangannya.

"Tidak.......! Tidak....... aku ingin bersama ayah ibuku.......!" Ia menengok kembali ke arah dua buah mayat di dekat kereta.

"Nona, jangan bodoh. Mereka itu sudah tewas dan engkau masih hidup. Mari kita pergi dari sini, cepat.......!"

Seng Bu lalu menarik lengan gadis itu. Sheila meronta dan mempertahankan, akan tetapi ia merasa betapa tenaga pemuda itu luar biasa kuatnya. Ia tetap mogok sehingga tubuhnya terseret sampai berada di sisi lain dari kereta yang miring itu, dan kini mayat ayah ibunya yang berada di balik kereta tidak nampak lagi. Seng Bu berhenti menyeret dan membalik sambil menghardik gadis itu.

"Apakah engkau ingin mati tinggal di sini?"

Dibentak secara kasar begitu, Sheila menjadi tersinggung dan timbul kemarahannya. Ia menentang pandang mata pemuda itu dengan sepasang matanya yang jeli akan tetapi yang pada saat itu basah dengan air mata.

Sejenak mereka saling tatap dan terpaksa Seng Bu menundukkan pandang matanya, tidak tahan melawan lebih lama. Jantungnya berdebar tegang. Sudah sering dia melihat wanita kulit putih, walaupun dari jarak jauh. Baru sekarang dia berdekatan, bahkan memegang lengannya yang halus lunak dan hangat.

Dari dekat, nampak jelas sekali rambut itu. Rambut yang seperti benang emas, yang pernah membuat dia bergidik ketika melihat untuk pertama kalinya. Tak pernah dia dapat membayangkan bagaimana rambut kepala tidak hitam atau putih beruban, melainkan kuning emas!

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang