Jilid 107

1.2K 19 0
                                    

Tiba-tiba Siu Coan merendahkan tubuhnya berjongkok, kakinya menyapu kaki lawannya. Sersan Bullbone terpelanting karena kakinya diserampang oleh kaki Siu Coan yang terlatih keras seperti batangan besi itu.

"Curang! Curang!"

Terdengar teriakan di sana-sini. Siu Coan tidak mengerti arti kata Bahasa Inggeris itu dan diapun sudah mundur lagi dan memandang musuhnya yang kini merangkak bangun.

"Itu tidak boleh kaulakukan!" kata Admiral Elliot yang kini merasa tertarik sekali, mendahului anak buahnya yang agaknya hendak mengeroyok.

Melihat sang admiral sendiri turun tangan mencampuri, semua orang diam tidak berani bergerak.

"Maaf, tuan besar," kata Siu Coan kepada admiral itu.

"Mengapa tidak boleh? Tadi sudah kukatakan bahwa kalau dia menyerang lagi untuk keempat kalinya, aku terpaksa akan membalas."

"Benar, akan tetapi engkau menyerang bagian kaki. Menurut ilmu tinju kami, serangan hanya boleh dilakukan dari pinggang ke atas, itupun bagian depan, tidak boleh bagian belakang, dan harus dilakukan dengan pukulan tangan, tidak boleh dengan anggauta tubuh yang lain."

Mendengar penjelasan ini, Siu Coan mengangguk mendengar tentang peraturan tinju di antara orang kulit putih. Bahkan dia pernah menyaksikan pertandingan tinju seperti itu yang dianggap amat aneh dan lucu.

Orang bertanding dan berkelahi kenapa mesti pakai aturan dan larangan segala macam? Bukankah berkelahi itu mencari kemenangan dengan cara apapun juga? Lihat saja kalau harimau berkelahi, ayam berkelahi, tanpa ada aturan-aturan yang mengikat.

Dia berpikir sejenak. Memang tidak mudah kalau ilmu silatnya dibatasi dalam perkelahian seperti itu.

Bayangkan saja. Semua bagian tubuh lain, tendangan kaki yang mematikan, lutut, siku, bahkan kepala kalau perlu, semua itu untuk dipergunakan menyerang. Dan lebih lucu lagi, yang diserang hanya pinggang ke atas, sedangkan bagian-bagian lain yang mematikan tidak boleh disentuh!

Dan tangan harus dikepal pula. Padahal, untuk mencapai bagian-bagian yang sempit seperti tenggorokan, mata dan untuk menotok jalan darah atau mematahkan tulang iga, semua itu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan. Kalau jari-jari dikepal, tentu hanya dapat dipakai untuk menjotos saja. Bahkan pinggiran tangan yang dapat dipakai membabat seperti golok atau pedang tak dapat dipergunakan lagi.

"Bagaimana? Beranikah engkau melawan aku dengan peraturan tinju seperti itu?"

Kini Sersan Bullbone menantang, akan tetapi sikapnya tidak segalak tadi. Pertama, karena dia dapat pula menduga bahwa tentu pemuda ini pandai silat seperti opsir Koan Jit, dan juga di situ disaksikan oleh Admiral Elliot, maka dia tidak boleh bersikap sewenang-wenang.

Siu Coan tersenyum.

"Tuan, sebetulnya tadi saya tertarik menyaksikan pertandingan itu dan ingin memasuki karena tadi ada tantangan dari enam orang itu. Aku tidak ingin berkelahi, melainkan bertanding untuk mengadu ilmu bela diri. Akan tetapi kalau tuan mendesak dan mau coba-coba, boleh saja. Hanya, aku tidak suka kalau tanganku dibungkus, karena dengan demikian, aku merasa seperti tidak mempunyai tangan saja."

Semua orang tersenyum mendengar ini dan Sersan Bullbone tertawa.

"Aha, kalau tanganku ini dibiarkan terbuka tanpa dilindungi sarung tangan, pukulanku bisa mematahkan tulang rahangmu, mungkin kepalamu."

"Bagi kami, kalah atau menang, mati atau hidup merupakan akibat pertandingan yang tak patut disesalkan lagi."

"Baik, majulah. Akan tetapi ingat, hanya menggunakan kepalan tangan untuk menghantam dari pinggang ke atas, dari depan. Tahu?"

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang