Jilid 121

1K 21 0
                                    

Belum pernah rasanya ia bertemu dengan lawan sehebat ini kepandaiannya, padahal ia tahu benar betapa pemuda itu telah banyak mengalah dan pedangnya yang hebat itupun lebih banyak menangkis dari pada membalas serangan, padahal setiap serangan pedang itu dirasakannya amat berbahaya dan sukar dielakkan, dan setiap kali toyanya menangkis, ia merasa tangannya tergetar hebat. Padahal, kalau dilihat kenyataannya bahwa toya itu lebih panjang dan lebih berat, sesungguhnya harus si pemegang pedang yang dirugikan kalau bertemu senjata mengadu tenaga.

Setelah lewat hampir limapuluh jurus, tiba-tiba saja gerakan pedang itu berubah dan terdengar suara keras ketika kedua senjata bertemu di udara, dan toya di tangan Kiki itu patah menjadi dua potong. Akan tetapi, bukan Kiki kalau mengalah dan mudah tunduk menyerah begitu saja. Dengan dua potongan tongkat itu, ia masih menyerang dengan hebat. Akan tetapi lawannya melompat ke belakang dan menyimpan kembali pedangnya.

"Sudahlah, nona. Sudah cukup kita main-main. Sekarang katakanlah mengapa engkau memasuki rumah kami secara diam-diam seperti orang yang hendak melakukan pencurian?"

"Aku tidak akan mencuri apa-apa. Tidak sudi aku menjadi pencuri. Lebih baik mati dan pada menjadi pencuri!" bentak Kiki dengan suara yang hampir menangis, bukan hanya karena sebal disangka pencuri, akan tetapi terutama sekali karena ia merasa bahwa ia kalah oleh pemuda itu!

Pemuda itu kembali tersenyum ramah.

"Mencuri atau tidak, akan tetapi engkau memasuki rumah orang tanpa ijin, dan malam-malam begini masuk ke rumah, tentu saja engkau dituduh mencuri. Akan tetapi engkau memang belum mengambil apa-apa, maka akupun tidak akan menuduhmu lagi mencuri. Akan tetapi, lalu apakah yang kaucari di sini?"

"Aku aku ingin mencari Pangeran Ceng Tiu Ong."

Pemuda itu nampak terkejut dan mengerutkan alisnya. Engkau mencari Pangeran Ceng Tiu Ong? Ada keperluan apakah?"

"Keperluan pribadi yang hanya akan kukatakan kepada dia sendiri. Dimanakah dia? Kalau dia atau puterinya yang bernama Ceng Hiang menyambut kedatanganku, tentu mereka akan mengerti. Aku tidak mau bicara dengan orang lain kecuali mereka.

"Nah, sekarang lebih baik laporkan kepada Pangeran Ceng Tiu Ong atau nona Ceng Hiang, aku akan menanti di sini. Ataukah engkau ingin melanjutkan perkelahian? Boleh.......!"

Opsir itu kembali tersenyum.

"Wah, engkau galak amat sih! Baiklah, engkau tunggu dulu di sini, akan tetapi jangan membuat onar, aku akan meninggalkan kucingku di sini untuk menjagamu agar engkau tidak melakukan kekacauan macam-macam. Pangeran Ceng Tiu Ong dan puterinya tentu akan datang ke sini kalau memang benar mereka itu mengenalmu dan mempunyai urusan denganmu."

Opsir muda itu lalu pergi melalui anak tangga dan mengatakan sesuatu dalam bahasa aneh kepada harimau itu. Harimau itu, seperti seekor anjing yang sudah terlatih baik saja layaknya, lalu mendekam di bawah anak tangga dan matanya terus mengamati ke arah Kiki.

Kiki merasa mendongkol bukan main. Dibalasnya pandang mata harimau itu dan iapun mencibir.

"Kaukira aku takut terhadap seekor kucing macam engkau? Huh, kalau tidak ingat majikanmu, tentu sudah kupukul pecah kepalamu, tahu?"

Aneh! Harimau itupun seolah-olah mencibir kepadanya dan menggereng panjang, seperti hendak mengatakan bahwa kalau dia tidak diperintah majikannya untuk berjaga saja, tentu tubuh gadis itu sudah dicabik-cabiknya dengan kuku dan diganyang dagingnya dengan taring-taringnya yang tajam meruncing.

Kiki makin mengkal hatinya dan membuang muka. Setelah kesabarannya menanti hampir habis, tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara dan terdengar langkah kaki menuruni tangga itu.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang