Jilid 19

2.2K 41 0
                                    

"Aku tahu bahwa Siauw-bin-hud bukanlah seorang pengecut, melainkan seorang datuk persilatan yang besar namanya. Tidak perlu banyak cakap lagi tentang urusan tetek bengek. Yang jelas, Siauw-bin-hud telah memiliki Giok-liong-kiam melalui ilmu kepandaiannya yang hebat sehingga dia mampu mengambil pusaka itu tanpa diketahui orang lain. Dalam dunia persilatan memang ada peraturan bahwa siapa menang, dia berhak meraih pahalanya.

"Enam tahun yang lalu dia menang, dan kini setelah dia keluar, aku orang she Tang mohon diberi kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang telah menguasai Giok-liong-kiam. Kalau aku kalah, sudahlah, aku tidak akan banyak ribut lagi tentang pusaka itu."

"Omitohud.......!"

Siauw-bin-hud berkata lirih akan tetapi masih tersenyum lebar dan sabar.

"Hai-tok makin tua semakin keras saja. Apakah orang seperti engkau ini tidak mau menerima penjelasan orang seperti aku, bahwa pinceng sungguh tidak pernah melihat Giok-liong-kiam, apalagi memilikinya?"

"Aku tidak pernah menuduh, hanya mendengarkan berita di luaran dan kini ada dua orang saksi mata. Mungkin mereka benar, mungkin pula engkau yang benar, siapa tahu akan kebenaran yang sesungguhnya? Yang penting, mari kita menguji kepandaian. Kalau aku kalah, sudahlah....... aku akan minta maaf dan akan pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan Giok-liong-kiam kepadaku."

"Wah, wah, wah....... tulang-tulangku sudah tua ini bernasib sial hendak menerima gebukan orang. Hai-tok, bagaimana kalau aku kalah akan tetapi aku tidak memiliki pusaka itu untuk dapat diserahkan kepadamu?"

"Dunia kang-ouw mempunyai bukti-bukti bahwa engkau yang merampas pedang itu, maka engkau harus dapat pula membuktikan bahwa bukan engkau perampasnya!"

"Ha-ha-ha....... dengan lain kata, engkau menghendaki aku mencari perampasnya yang agaknya mempergunakan namaku?"

"Begitulah....... dan bersiaplah, Siauw-bin-hud!"

"Nanti dulu. Tamuku bukan hanya engkau seorang, melainkan masih ada beberapa orang lagi. Kau tunda dulu niatmu, Hai-tok....... aku ingin bertanya kepada yang lain-lain."

Lalu kakek gendut itu dengan sikap tenang, sabar dan peramah memalingkan mukanya kepada rombongan perwira istana yang dipimpin oleh Pouw Gun atau Pouw-ciangkun itu.

"Cu-wi sekalian ini apa juga datang ke Siauw-lim untuk urusan pusaka yang hilang itu?"

Pouw Gun menjura dengan sikap tegas dan hormat. Sebagai seorang perwira tinggi, sikapnya tegas dan berwibawa, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi diapun menghormati angkatan yang lebih tua seperti Siauw-bin-hud.

"Locianpwe, saya Pouw Gun bersama beberapa orang teman datang sebagai utusan sri baginda kaisar. Karena seorang di antara saudara muda kami, yaitu Tang Kui, pernah mendapatkan Giok-liong-kiam yang kemudian dirampas oleh locianpwe, maka kami atas nama sri baginda kaisar mohon dengan hormat agar locianpwe menyerahkannya kepada kami."

"Heh-heh, semua orang minta pusaka itu dariku. Aneh! Ciang-kun, kalau cuwi menjunjung perintah sri baginda kaisar, tentu membawa surat perintah."

Wajah panglima yang bertubuh kecil itu menjadi merah.

"Maaf, locianpwe....... selama enamtahun ini, Siauw-lim-pai tidak mengakui tentang Giok-liong-kiam, oleh karena itu, urusan ini menjadi urusan pribadi. Kami ditugaskan untuk mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana. Andaikata kami harus berurusan dengan Siauw-lim-si, tentu kami akan membawa surat perintah. Akan tetapi karena Siauw-lim-si tidak mengakui, dan karena ada saudara kami yang melihat sendiri bahwa pusaka itu....... oleh locianpwe....... "

"Ha-ha-ha, Pouw-ciangkun....... jelaskan saja apa yang hendak kaulakukan sekarang," kakek gendut itu memotong dengan suara kasihan melihat kegugupan perwira itu.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang