Jilid 31

1.9K 34 0
                                    

"Aihh, locianpwe....... apa akan kata orang di dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa Ang-hong-pai menyambut tokoh besar Siauw-lim-pai di lapangan rumput saja? Kemana mukaku yang buruk ini akan kusembunyikan? Marilah, mari, tamu-tamuku yang terhormat, mari ikut dengan kami."

Ci Kong memandang kepada susiok-couwnya yang mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, akan tetapi Ci Kong melihat betapa sepasang mata yang lembut dari susiok-couwnya itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya aneh.

Diapun dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang menarik, akan tetapi karena dia melihat kakek itu sudah melangkah mengikuti rombongan orang Ang-hong-pai, diapun terpaksa mengikuti kakek itu dari belakang. Ketika memasuki pintu gerbang tembok yang mengelilingi perkampungan Ang-hong-pai, kemudian diajak masuk ke dalam ruangan dari bangunan terbesar, Ci Kong merasa kagum bukan main.

Tak disangkanya bahwa di puncak bukit sunyi itu, terdapat perkampungan yang amat indah, penuh dengan bangunan-bangunan mungil dan taman-taman bunga yang amat indah teratur, dan terutama sekali setelah memasuki ruangan gedung tempat tinggal ketua Ang-hong-pai, dia menjadi bengong karena ruangan itu amat hebat!

Layaknya menjadi ruangan di dalam istana puteri-puteri dalam dongeng saja. Jelaslah bahwa Ang-hong-pai amat kaya raya. Lantainya licin seperti kaca, ruangannya terhias perabot yang serba mahal dan indah, sutera-sutera halus bergantungan, periuk-periuk kuno yang serba aneh dan indah, hiasan-hiasan batu giok yang mahal, lukisan-lukisan yang pilihan.

Akan tetapi dia melihat betapa susiok-couwnya memasuki ruangan itu seperti memasuki sebuah ruangan kuil atau sebuah guha belaka, sama sekali tidak nampak heran atau kagum, masih tetap tersenyum-senyum seperti biasa.

"Silahkan duduk, silahkan.......!" kata wanita itu dengan ramah. "Sambil menanti selesainya Theng Ci, kita ngobrol sambil menikmati hidangan sekedarnya."

"Omitohud, engkau terlalu sungkan, terlalu menghormat, sehingga kami merasa tidak enak hati dan mengganggu saja, Pai-cu," Siauw-bin-hud berkata sambil tersenyum lebar.

"Ah, tidak, locianpwe, dan jangan khawatir, aku tahu bahwa locianpwe dan cucu muridnya ini tentu tidak makan barang berjiwa, juga tidak minum arak. Kami akan menghidangkan makanan dan minuman yang bersih."

Tanpa menanti jawaban tamu-tamunya, ketua ini lalu menyembunyikan sebuah genta yang terbuat dari pada emas sehingga terdengar amat gemercing nyaring. Bukan main, pikir Ci Kong. Genta kecil itu saja sudah merupakan benda yang luar biasa mahalnya!

Tak lama kemudian, beriringan datanglah lima orang wanita berpakaian merah yang membawa baki-baki terisi masakan masakan. Bau gurih sedap memenuhi ruangan itu. Seorang di antara mereka membawa baki terisi guci-guci kecil terbuat dari pada batu giok! Mangkok-mangkok besar terisi masakan sayuran-sayuran yang beraneka warna memenuhi meja di hadapan mereka.

"Lihat, locianpwe, semua masakan sayur-sayuran, daun-daunan, akar-akaran dan buah-buahan. Sedikitpun tidak ada barang berjiwa, tidak ada secuwilpun daging, tidak ada setetespun gajih. Semua bersih dan dimasak oleh ahli-ahli masak kami yang berpengalaman!"

Nyonya rumah itu dengan ramah sekali mempersilahkan dua orang tamunya makan, dan ia menemani mereka makan. Agaknya ia sengaja meyakinkan hati dua orang tamunya bahwa masakan-masakan itu tidak mengandung barang berbahaya, karena semua masakan dicicipinya dengan sepasang sumpit gadingnya!

Siauw-bin-hud tertawa-tawa dan makan dengan lahapnya, sedikitpun tidak menaruh curiga. Melihat ini, Ci Kong yang sudah lapar pula perutnya, juga makan dengan lahap. Memang enak bukan main masakan-masakan itu, walaupun hanya dari barang-barang tak berjiwa.

Ci Kong tidak pantang barang berjiwa, tidak seperti Siauw-bin-hud, karena dia bukanlah seorang calon pendeta. Akan tetapi belum pernah dia makan masakan selezat ini.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang