Jilid 4

3.5K 63 2
                                    

Kini semua orang berusaha memadamkan api. Percuma. Rumah itu terbakar habis, dan ketika para penduduk memeriksa puing kebakaran, mereka terkejut sekali menemukan mayat guru silat Siauw dan istrinya yang sudah gosong sehingga sukar untuk dikenal lagi. Akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tentulah dua mayat itu adalah mayat Siauw Teng dan istrinya. Siapa lagi kalau bukan mereka yang mati terbakar dalam rumah mereka?

Kembali gemparlah dusun itu. Semua orang bertanya-tanya kemana perginya kakek yang menolong Siauw Lian Hong. Dan mengapa pula rumah itu sampai terbakar habis, dan lebih aneh lagi, bagaimana suami istri Siauw itu sampai mati terbakar sedangkan anaknya masih sempat berteriak.

Timbul bermacam dugaan. Akan tetapi yang dianggap paling tepat oleh para penduduk dusun itu adalah perbuatan bunuh diri suami istri itu. Tentu mereka bunuh diri dengan membakar rumah sendiri, demikian celoteh mereka. Dugaan ini bukan tak berdasar.

◄Y►

Sebetulnya apakah yang telah terjadi di dalam rumah kebakaran itu setelah Lian Hong menjerit sekuatnya, dan kakek yang membawa kipas itu meluncur masuk ke dalam rumah yang sedang berkobar itu?

Lian Hong yang ketakutan setengah mati itu tiba-tiba melihat seorang kakek tua berada di dalam ruangan yang terbakar itu, dan kakek itu tahu-tahu sudah menyambar tubuhnya ke dalam pondongan. Kemudian kakek itu memandang kepada jenazah yang sedang terbakar.

"Itu ayah ibumu?" tanya kakek itu sambil menuding ke arah dua jenazah dengan kipasnya.

Lian Hong hanya mengangguk sambil menangis. Kakek itu lalu menggerakkan kipasnya ke kiri dan daun pintu kamar yang sedang terbakar itupun roboh. Ada kayu dari atas runtuh pula ke bawah menimpa mereka, akan tetapi dengan kebutan kipasnya, kayu yang terbakar itu tertangkis dan terpental.

Kemudian kakek itu meloncat melalui pintu yang roboh, mencari jalan keluar dan melihat betapa dinding di sebelah barat masih belum terbakar, kakek itu lalu menerjang dinding dengan tendangan kakinya. Dinding itu jebol dan diapun membawa Lian Hong meloncat keluar, tidak tahu bahwa ujung jubah di belakangnya ikut terbakar sehingga tergopoh-gopoh dia memadamkannya dengan kebutan kipasnya setelah berada di luar. Melihat betapa semua orang bersorak dan memperhatikannya, kakek itu lalu meloncat jauh ke dalam kegelapan malam.

Lian Hong memejamkan kedua matanya dengan ngeri. Ia merasa betapa angin bertiup keras sekali dan betapa tubuhnya meluncur ke depan dengan amat cepatnya. Bayangan-bayangan pohon menghitam seperti raksasa mengancam itu nampak berlari-lari cepat di kanan kirinya ketika kakek itu membawanya lari di jalan besar yang diapit-apit jajaran pohon-pohon di tempat yang gelap dan sunyi itu. Ia merangkul leher kakek itu, takut terlepas dari pondongan dan jatuh.

Akhirnya, saking lelahnya, lelah lahir bathin tertindih perasaan ngeri, takut, duka yang amat menghebat, Lian Hong tertidur pulas dalam pondongan kakek itu, tidak tahu sama sekali bahwa ia dilarikan sampai jauh sekali dari dusun Tung-kang, bahkan kakek itu baru berhenti setelah tiba di luar daerah Kan-ton, berhenti di bawah sebatang pohon besar di lereng bukit, di tepi sebuah sungai.

Kakek itu menggunakan sehelai kain bersih yang dicelup air sungai untuk membersihkan muka, leher, tangan dan kakinya, kemudian diapun mengusap muka Lian Hong yang kotor karena angus dan debu itu dengan kain basah.

Lian Hong sadar dan membuka matanya. Begitu membuka mata, anak perempuan itu menjerit.

Kakek itu merangkul dan mendekap anak yang hendak lari itu, akan tetapi Lian Hong meronta-ronta dan setelah kakek itu mengusap belakang lehernya, barulah anak itu diam tak bergerak, akan tetapi memandang dengan sepasang mata terbelalak kepada kakek itu yang masih memangkunya.

Lian Hong menggerakkan mulutnya. Bibirnya berkemak-kemik tak bersuara dan sepasang mata yang lebar itu memandang wajah si kakek tanpa kedip.

"Apa kau bilang, nak?" kakek itu mendesak sambil tersenyum memberanikan.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang