Jilid 124

1.1K 21 0
                                    

"Atau mungkin juga orang-orang jahat yang menyamar sebagai pendeta-pendeta untuk merampas kitab-kitab ini," kata Kiki.

"Rasanya tidak mungkin itu, adikku. Penjahat mana yang akan suka merampas kitab kuno seperti ini? Kita sendiripun tidak bisa membacanya. Sejak kecil aku dididik ayah dengan ilmu sastera, akan tetapi kitab-kitab ini aku hanya bisa membaca beberapa belas hurufnya saja. Untuk apa mereka bersusah payah merampas kitab-kitab ini? Dijualpun takkan laku."

Dua orang gadis itu menduga-duga, akan tetapi karena jelas bahwa ada musuh yang berniat buruk merampas peti itu, Kiki lalu cepat memanggul peti itu, di atas pundaknya dan berkata.

"Mari kita, cepat kembali ke kota raja, enci."

Bergegas keduanya lalu keluar dari dusun itu menuju ke tempat dimana mereka meninggalkan kereta. Agaknya kusir yang tahu akan kewajibannya itu sudah siap karena dia sudah memasang lagi dua ekor kuda itu di depan kereta dan sudah duduk di tempatnya, yaitu di bangku depan. Melihat bahwa kereta sudah siap, Ceng Hiang berkata.

"Mari kita cepat pulang!"

Ceng Hiang bersama Kiki yang membawa peti hitam itu, iapun naik dan memasuki kereta. Hati mereka lega setelah kereta itu bergerak meninggalkan tempat itu dengan cepatnya. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kereta itu makin lama bergerak semakin cepat sampai membalap seperti dikejar setan atau sedang berlumba dengan kereta lain. Melihat ini, Ceng Hiang membentak.

"Kusir, kenapa begini cepat? Lambatkan sedikit larinya kuda, apa engkau ingin celaka di tempat yang jalannya tidak rata ini?"

Sungguh aneh. Kusir tidak menjawab, akan tetapi larinya dua ekor kuda itu tidak berkurang, bahkan semakin membalap.

Kiki mengerutkan alisnya dan membuka gorden, memandang ke muka. Kusir itu masih sama seperti kemarin, jangkung dan mengenakan pakaian serba biru. Akan tetapi ia tidak melihat muka orang itu dan ia menjadi curiga.

"Berhenti! Hayo hentikan kereta ini atau engkau akan kupukul!" bentaknya kepada kusir itu.

Kiki marah, karena kini melihat bahwa kereta itu mengambil jalan yang salah, bukan menuju ke kota raja, melainkan membelok dan kini berada di luar sebuah hutan yang sunyi. Kereta itu tiba-tiba berhenti dan ketika Ceng Hiang dan Kiki membuka gorden jendela dan pintu kereta, mereka melihat bahwa kereta itu telah dikurung oleh segerombolan orang berkuda yang dikepalai oleh tiga orang hwesio gendut!

"Enci Hiang, kau di dalam saja bersama peti ini, biar aku yang menghadapi mereka!"

Kata Kiki, sedikitpun tidak merasa gentar, bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mukanya merah sekali. Ia nampak semakin manis dan gagah perkasa, dan ketabahannya memancar di sinar mukanya, membuat Ceng Hiang merasa kagum bukan main. Kiki lalu melompat ke luar dan ia menghitung jumlah lawan. Ada tujuh orang.

Tiga orang hwesio gendut, dua orang lagi berpakaian biasa dan kusir itu yang ternyata bukanlah kusir kereta Ceng Hiang tadi, melainkan seorang lain yang telah mengenakan pakaian yang sama. Agaknya diam-diam kusir yang aseli telah disingkirkan dan tempatnya diganti oleh orang ini.

Tiga orang hwesio dan dua orang kurus itu meloncat turun pula dari atas kuda masing-masing. Seorang di antara tiga hwesio itu, yang mempunyai tahi lalat besar di ujung hidungnya sehingga nampak lucu dan buruk, dengan perutnya yang gendut dan tubuhnya yang agak pendek, melangkah maju menghadapi Kiki.

"Serahkan peti hitam berisi kitab-kitab itu kepada kami, dan kamipun tidak akan mengganggu dua orang gadis yang lemah."

Kiki tersenyum mengejek.

"Engkau ini hwesio dari kuil, ataukah pelawak yang menyamar sebagai hwesio, ataukah orang-orang jahat tolol, tikus-tikus kecil yang datang mengantar kematian?"

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang