Jilid 10

2.8K 46 0
                                    

Bukan hanya jagoan jagoan Thian-te-pai yang mencari jejaknya, bahkan tokoh-tokoh besar dari semua golongan juga mencari maling yang telah melarikan pusaka itu. Bahkan juga dari istana muncul jagoan-jagoan yang berkeliaran mencari pusaka itu. Seolah-olah terjadi perlumbaan untuk memperebutkan benda pusaka itu.

Setelah kini benda pusaka itu bukan lagi menjadi pusaka Thian-te-pai, karena sudah berhasil dicuri orang, maka semua golongan mencarinya dan kini siapa yang berhasil merampasnya dari si pencuri, berarti berhak untuk memiliki pusaka keramat Giok-liong-kiam atau Pedang Naga Kemala.

Inilah sebabnya maka Sin-touw yang merasa hidupnya terancam, ketika bertemu dengan Phek-Kiat yang sudah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang cerdik dan licik, dia mengadakan perjanjian dengan orang itu. Dia yang sudah ketagihan candu, setuju untuk menukarkan benda pusaka itu dengan tigapuluh kati madat murni.

Tigapuluh kati! Jumlah yang tidak sedikit dan mahal sekali harganya. Dan bukan itu saja. Juga Phek Kiat berjanji untuk mencukupi semua kebutuhannya akan madat kalau yang tigapuluh kati itu sudah habis. Berarti selama hidupnya dia tidak akan kekurangan candu.

Kesenangannya terpenuhi, keselamatannya tidak terancam lagi. Dan selain itu, yang lebih penting lagi, dia tahu dimana adanya pusaka itu. Dia seperti menitipkannya saja kepada Phek Kiat, mengalihkan bahaya yang mengancam kepada orang she Phek itu. Dan kalau sewaktu-waktu dia hendak mengambil kembali benda pusaka itu, apa sukarnya baginya untuk mencari Phek Kiat?

Bahkan, kalau keadaan memaksa, dia dapat menjual orang itu kepada tokoh pandai yang mengejar, dan untuk keterangan bahwa dia tahu dimana adanya benda pusaka itu, tentu dia akan memperoleh hadiah yang amat besar pula. Dia harus dapat mengeduk keuntungan sebanyaknya dari Giok-liong-kiam tanpa membahayakan keselamatan diri sendiri.

"Srrrr.....!"

Sebatang jarum hitam halus menyambar dari sebuah lubang rahasia di bawah cangklong. Karena jaraknya amat dekat, jarum yang tiba-tiba meluncur itu dengan tepat sekali mengenai tenggorokan Phek Kiat yang sama sekali tidak menduganya dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak.

Tahu-tahu jarum itu telah menusuk tenggorokannya. Dia terkejut dan merasa tenggorokannya panas dan perih sekali. Dia terbelalak memandang pencuri itu.

"Keparat.....! Kau.....kau.....!"

Phek Kiat menerjang ke depan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam. Akan tetapi, Sin-touw sudah bersiap siaga, sekali menggerakkan kakinya dia sudah meloncat jauh ke belakang sehingga tubrukan A Ceng atau Phek Kiat mengenai tempat kosong dan tubuh itupun terguling.

Phek Kiat bukanlah seorang lemah, akan tetapi jarum yang menancap hampir seluruhnya ke dalam tenggorokannya itu bukan jarum sembarangan, melainkan jarum yang mengandung racun amat keras, sehingga begitu tempat yang lemah itu tertusuk, racun dalam jarum itu sudah terbawa oleh darah dan menjalar amat cepatnya. Leher itu seketika menjadi bengkak dan Phek Kiat merasa kepalanya pening berputar sehingga dia roboh dan berkelojotan.

Sin-touw tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha..... baru engkau tahu akan kelihaian Sin-touw, ha-ha-ha!"

Dia merasa girang sekali. Akal ini baru diperolehnya tadi ketika dia menanti munculnya Phek Kiat di bawah jembatan. Dia teringat bahwa Phek Kiat adalah seorang penjahat yang amat licin dan keji, dan mulailah dia merasa menyesal mengapa dia memilih Phek Kiat sebagai orang yang akan menyimpan Giok-liong-kiam.

Bagaimana kalau kelak dia ditipunya? Bagaimana kalau Phek Kiat di luar tahunya menjual pusaka itu dengan harga yang amat tinggi, beberapa kali lipat dari sekedar tigapuluh kati candu? Dan hal ini amat boleh jadi mengingat bahwa Phek Kiat adalah seorang yang berwatak rendah.

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang