Jilid 116

1.2K 20 0
                                    

Akan tetapi, sikapnya demikian gagah berani, penuh wibawa menimbulkan kekaguman hatinya. Diapun merasa gembira dan lega hatinya bahwa ia telah menyelamatkah kakek pangeran itu dan kematian tenggelam di lautan.

Kalau sampai kakek itu terbunuh, tentu kata-kata kakek itu akan selalu terngiang di hatinya dan akan selalu mendatangkan perasaan tidak enak. Bahkan peti terisi kitab-kitab kuno itupun kini mulai mengganggu hatinya.

Bukankah pangeran itu mengatakan bahwa kitab-kitab kuno itu amat penting bagi puterinya yang bernama Ceng Hiang? Kalau ia bisa mengirimkannya kepada gadis itu, alangkah akan lega dan senang hatinya!

Banyak ahli filsafat dan para bijaksana yang mengatakan bahwa pada dasarnya, semua orang itu mempunyai sifat atau watak yang baik. Bagaikan kertas putih yang masih kosong, maka sejak anak-anak, orang telah dibentuk oleh yang mengisi kertas putih. Namun, betapapun kotornya kertas itu dicorat-coret, pada dasamya masih ada putihnya dan kadang kadang sifat kebaikan dan kebersihan ini muncul.

Benar tidaknya pendapat para ahli filsafat ini terserah kepada penilaian kita sendiri. Yang jelas saja, semua orang ini, kita semua, condong untuk melakukan kebaikan kepada orang yang mendatangkan kesan baik kepada kita.

Kebanyakan dari kita bersikap dan berbuat baik kepada orang yang menyenangkan kita, dan yang menyenangkan ini berarti yang menguntungkan, baik batiniah maupun lahiriah. Dengan demikian, maka segala kebaikan seperti itu adalah perbuatan munafik belaka, yang pada bakekatnya hanya untuk menyenangkan diri sendiri saja melalui lain orang. Bukankah demikian?

Untuk dapat melihat ini, kita harus berani menghancurkan lebih dulu bayangan tentang diri kita sendiri yang kita bentuk dan bangun sejak kecil, bayangan yang nampak demikian baiknya, bahkan yang terbaik dan terbersih, dan entah 'ter' apalagi. Barulah akan nampak betapa munafiknya kita, betapa kotornya batin kita selama ini.

Dan hanya kita sendirilah yang mampu mengubahnya. Bagaimana caranya?

Tidak ada caranya, yang terpenting, kalau kita waspada dan melihat kekotoran menempel pada diri kita, apa yang akan kita lakukan? Kecerdasan akal budi tentu akan menggerakkan tangan untuk membersihkannya dan menghentikan segala kegiatan yang menimbulkan kekotoran itu.

Kiki membawa peti berisi kitab-kitab kuno itu ke Pulau Naga. Ayahnya, Hai-tok Tang Kok Bu yang sekarang tidak begitu kaya raya lagi, memandang dengan alis berkerut. Dia sendiri tidak mengenal huruf-huruf kuno itu, hanya mengenal beberapa buah saja yang kalau dirangkai tidak ada artinya.

"Kiki, apakah kau sudah gila? Buku-buku macam itu kaubawa, apakah hanya untuk dijadikan umpan rayap? Pula, aku mendengar engkau menyelamatkan seorang pangeran Mancu dari lautan. Apa-apaan pula ini? Kau malah hendak melindungi bangsawan musuh!"

"Ayah, yang kutolong itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah perkasa! Dia seperti sasterawan yang lemah, akan tetapi kegagahannya tidak kalah oleh kita. Ketika senjataku menempel di lehernya, dia berkedippun tidak!

"Dan tidak pernah marah, bahkan menawarkan seluruh barangnya untuk diambil asal jangan ada perkelahian bunuh-membunuh. Dia menitip pesan agar kalau dia dibunuh, peti kitab kitab kuno ini diserahkan kepada puterinya di kota raja yang bernama Ceng Hiang. Aku tertarik dan kagum sekali kepada orang tua gagah itu, ayah....... dan pada saat itu, aku hanya tahu dia seorang mengagumkan, bukan pangeran atau bangsawan apapun."

"Huh, kau sudah menjadi lemah hati, ahh....... tapi ini merupakan kesempatan baik sekali!"

Tiba-tiba Hai-tok memukul telapak tangannya sendiri.

"Kau bisa mengantarkan peti ini ke kota raja, mencari pangeran itu dan menyerahkan peti ini!"

"Ayah....... aku tidak butuh ganjaran!"

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang