Jilid 126

1K 19 0
                                    

Keduanya gembira sekali, dan sang pangeran juga ikut bergembira.

"Aku sudah menduga bahwa kitab-kitab ini tentu berguna sekali bagimu, Ceng Hiang, tak kusangka kini malah berguna pula bagi Kiki. Dengan demikian, sedikit banyak aku sudah dapat membalas budi anakku Kiki."

"Gi-hu (ayah angkat), harap jangan sebut-sebut lagi tentang budi. Bagaimanapun, aku pernah membunuhi anak buah pengawal ayah, dan membakar perahu......." Suaranya mengandung penyesalan besar.

Pangeran itu menggoyang-goyang tangannya.

"Jangan disebut-sebut lagi urusan itu, kalau terdengar orang lain tidak baik. Engkau melakukannya karena perjuangan, watakmu bukan karena memang suka membunuh atau merampok."

"Wah-wah, ayah dan siauw-moi mulai berbantah-bantah lagi, saling salahkan diri dan saling puji. Sudahlah, mulai sekarang keduanya sudah berjanji tidak akan menyebut-nyebut lagi urusan itu dan akulah saksi hidupnya!"

Mereka bertiga tertawa, dan mulai hari itu, pangeran Ceng Tiu Ong menterjemahkan kedua kitab itu dengan seksama. Dia tidak akan memberikan kitab yang sudah selesai diterjemahkan, akan diberikan berbareng kepada dua orang anaknya dalam waktu yang sama.

Jarang ada seorang ayah, atau orang tua seperti Pangeran Ceng Tiu Ong ini. Biarpun yang seorang anak kandung, yang kedua anak angkat, namun cinta kasihnya kepada mereka sama, tidak berat sebelah.

Orang tua yang bijaksana tidak akan memilih-milih anak mereka, siapa yang harus dicinta dan siapa yang kurang dicinta, bahkan siapa yang harus dibenci! Namanya bukan cinta kasih, melainkan cinta diri sendiri. Anak yang menyenangkan diri dicinta, yang tidak menyenangkan dibenci. Berarti cinta model sui-poa (alat hitung), model mesin hitung, cinta model dagang dengan dasar untung rugi.

Orang tua yang membeda-bedakan anaknya sebetulnya hanya mencinta diri sendiri, mencari kesenangan diri pribadi melalui anak-anaknya. Cinta kepada anaknya sama saja dengan cintanya kepada anjing peliharaannya, kalau anjing itu mengenal budi, kalau anjing itu tahu membalas budi dan menyenangkan, maka tetap dicinta.

Kalau tidak, anjing itu akan dipukul atau bahkan diusir! Sama saja dengan mencinta barang-barang mati, yang baik dan berharga, dicinta....... yang buruk dan tidak berharga, dibuang! Apakah yang begini cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya? Mudah-mudahan tidak, dan kalau toh ada yang demikian, mudah-mudahan dapat menyadarinya dan segera mengubahnya.

Pergaulan antara Kiki dan Ceng Hiang semakin akrab saja. Pada suatu malam, sebelum tidur, karena Ceng Hiang memaksa agar adiknya itu tidur sekamar dengannya. Kiki mulai bertanya tentang suhengnya yang bernama Lee Song Kim.

"Enci Hiang, sebetulnya ketika aku meninggalku Pulau Naga yang kini menjadi tempat tinggal keluarga ayahku, selain hendak mengirimkan peti kitab seperti yang dipesan ayah, aku masih mempunyai sebuah urusan lagi yang belum sempat kubicarakan denganmu. Ada sebuah perintah ayah, bukan gi-hu (ayah angkat) yang kumaksudkan, yang belum kulaksanakan dengan berhasil."

"Aihh, kenapa tidak kaukatakan dari kemarin dulu, adikku sayang? Tugas dari seorang yang berbakti kepada orang tuanya harus dipenuhi dengan baik, dan kalau aku dapat, tentu aku akan membantumu sampai berhasil."

"Terima kasih, enci Hiang, engkau baik sekali dan memang aku ingin minta tolong kepadamu, yaitu mungkin engkau dapat memberi keterangan tentang orang yang sedang kucari. Aku diperintah oleh ayah untuk mencari tahu dimana adanya seorang suhengku."

"Kiranya ayahmu mempunyai banyak murid-murid selain engkau? Wah, tentu suhengmu itu pandai sekali, baru sumoinya saja seperti engkau, apalagi suhengnya."

"Murid ayah hanyalah aku dan suhengku itu, enci, sudah lama dia pergi, dan aku ingin tahu dimana alamatnya karena yang kami ketahui hanya bahwa Suheng itu kini telah menjadi seorang perwira kerajaan dan tinggal di kota raja."

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang