Jilid 122

1.1K 21 0
                                    

"Siapakah mereka?"

"Mereka adalah puteri-puteri aseli dari Mancu, akan tetapi mereka tidak mau menjadi puteri, walaupun keduanya pernah menjadi panglima. Tidak mau tinggal di istana, bahkan Puteri Nirahai menikah dengan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es......."

"Wah, kalau nama itu pernah disebut-sebut oleh ayah sebagai nama seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng."

"Bukan dongeng, melainkan sungguh-sungguh ada. Dan Puteri Nirahai yang masih saudara kaisar itu lebih suka tinggal bersama suaminya, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, dari pada menjadi puteri di istana. Puteri mereka, Puteri Milana, juga menikah dengan seorang pendekar sakti dan tidak mau menjadi puteri di istana. Nah, jangan lantas kausamakan saja manusia atau bangsa dengan sekarung beras."

"Ehhh?" Kiki tidak mengerti.

"Kalau orang membeli beras, mengambil segenggam dan melihat beras itu jelek, lalu dia tidak jadi beli dan mengatakan bahwa beras sekarung itu jelek. Tidak demikian dengan bangsa.

"Bangsa terdiri dari manusia-manusia dan di antara manusia-manusia, tentu ada yang jelek dan ada yang baik. Ada yang suka menjajah akan tetapi ada pula yang tidak suka dengan politik penjajahan itu."

"Jadi kau dan ayahmu......."

"Kami tidak suka dengan siasat pemerintah menjajah bangsa lain, apalagi kami tidak suka melihat kelemahan kaisar yang bertekuk lutut kepada orang-orang kulit putih. Karena itu, ayah kagum dan percaya kepadamu. Pula, siapa sih yang akan mengganggu kita?"

Kiki hanya tersenyum, dan pada saat itu, kereta berhenti sebentar karena dihentikan oleh penjaga pintu gerbang. Terdengar percakapan antara kusir dan prajurit penjaga yang dengan suara lantang mengatakan bahwa kereta itu milik Pangeran Ceng Tiu Ong dan bahwa kini dia sedang mengantarkan Ceng-siocia keluar pintu gerbang untuk utusan pribadi dan kalau terburu, mungkin malam ini juga kembali ke kota raja lagi.

"Sobat, maafkan kami. Berhubungan perintah atasan untuk melihat siapa yang keluar masuk kota raja, walaupun tidak diperiksa, hanya diawasi saja, maka terpaksa kami akan menjenguk ke dalam kereta untuk meneliti kebenaran keteranganmu ini."

"Kalian tidak percaya kepadaku?"

Tukang kusir membentak, lalu suaranya ditujukan ke dalam.

"Ceng-siocia, mereka ini ingin menjenguk dan memeriksa ke dalam kereta!"

Tentu pada waktu itu, pantang bagi para puteri bangsawan untuk dijenguk begitu saja oleh para prajurit atau laki-laki biasa. Akan tetapi, dengan halus Ceng Hiang menjawab.

"Karena sudah tugas mereka, biarlah, paman. Aku yang akan membuka sendiri kain penutup pintu kereta."

Berkata demikian, dengan kedua tangannya yang berkulit halus, Ceng Hiang menguak pintu kain itu ke kanan kiri sehingga ia dan Kiki kelihatan jelas oleh mereka yang mengepung kereta dari luar.

"Apakah kalian sudah puas sekarang......."

Para prajurit itu terpesona melihat dua orang gadis yang demikian cantik jelitanya, terutama sekali Ceng Hiang. Dan di antara mereka, agaknya tidak ada seorangpun yang tidak mengenal Ceng Hiang.

Semua berdiri dengan sigap dan muka mereka bahkan berubah agak ketakutan. Seorang di antara mereka yang berkumis tebal, dengan suara agak gemetar lalu berkata.

"Mohon maaf....... kami....... kami tidak tahu bahwa Siocia yang berada di dalam dan....... kami hanya melaksanakan perintah atasan......."

Ceng Hiang tersenyum dan menutup kembali kain gorden sambil berkata dari dalam.

"Demikianlah seharusnya, setiap orang prajurit harus melaksanakan tugas dengan baik dan membela perintah atasan dengan taruhan nyawa. Paman kusir, lanjutkan perjalanan!"

Pedang Naga Kemala - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang