Sabtu (15.39), 06 April 2019
-----------------------
Queen menatap Kingsley bingung. Batinnya bergejolak. Ini adalah kesempatannya untuk membalas dendam. Bahkan lebih dari yang dia harapkan. Dia bisa melihat langsung Kingsley yang sekarat lalu mati perlahan seperti yang diinginkan jiwa gelapnya.
Tapi—Queen menggigit bibir. Ada banyak kenangan di antara mereka. Kenangan yang—sejujurnya—tidak bisa Queen ingat dengan jelas. Fokusnya hanya pada dendam itu dan bagaimana melampiaskannya.
Jemari Queen mengepal di sisi tubuh. Kenapa dia harus selemah ini? Tidak peduli bahwa terkadang rasa cinta terhadap Kingsley membuncah memenuhi hatinya. Tidak peduli bahwa sikap lembut lelaki itu nyaris membuatnya luluh dan menyerah. Tidak! Queen tidak bisa begitu saja melupakan kematian saudari dan calon suaminya.
Dengan tekad untuk membalas dendam yang kembali berkobar di hatinya, Queen menatap sekeliling untuk mencari benda tajam yang bisa digunakannya untuk membunuh Kingsley. Tapi dia tak menemukan apapun.
Akhirnya Queen memilih benda yang tampak berat di atas meja. Dia memegang benda itu dengan kedua tangan lalu kembali ke sisi ranjang. Tangan Queen sudah terangkat dan bersiap menghantam kepala Kingsley dengan benda itu. Tapi dia terpaku saat kelopak mata Kingsley terangkat, menampakkan manik biru dibaliknya.
"Queen..." suara Kingsley terdengar lemah saat menyebut nama itu.
"Kali ini kau tidak akan bisa menghentikanku," geram Queen.
"Aku... tidak berniat... menghentikanmu," kata Kingsley terbata. "Tapi... jangan gunakan... laptopku.... Banyak film yang... belum... selesai kutonton."
"Hah?"
Queen menurunkan benda yang dia angkat tinggi lalu memperhatikannya. Tapi kemudian dia kembali menatap Kingsley kesal. "Aku berniat membunuhmu dan yang kau pedulikan hanya laptop?"
"Kau..." Kingsley meringis merasakan sakit yang menyiksa di dadanya. Dia tidak tahu separah apa luka Queen. Tapi efeknya pada Kingsley sangat mengerikan. Luka di dadanya bukan hanya melepuh, tapi sudah seperti membusuk dan semakin lama semakin lebar.
Melihat Kingsley yang tampak sangat menderita, jiwa gelap Queen seperti sedikit diselubungi cahaya. Dan itu membuatnya khawatir. Buru-buru dia meletakkan laptop Kingsley kembali ke meja lalu duduk di sisi ranjang.
"Apa yang terjadi? Aku tidak melihat—"
Queen tertegun. Sesuatu di bagian atas dada Kingsley menarik perhatiannya. Segera dia menyibak kemeja hitam yang dikenakan lelaki itu lalu terbelalak.
"Tidak apa-apa...," kata Kingsley lemah.
"Apanya yang tidak apa-apa? Ini...." Queen ternganga menyadari luka itu melebar. Seperti ada sesuatu yang memakan jaringan kulit Kingsley.
"Darahmu... aku butuh darahmu..." Lalu detik berikutnya Kingsley kembali hilang kesadaran.
Queen panik. Buru-buru dia menggores telapak tangannya sendiri dengan kuku tajamnya lalu ia dekatkan ke mulut Kingsley. Dengan sedikit menarik dagu Kingsley, Queen berhasil mengalirkan darahnya ke dalam mulut lelaki itu.
Luka di dada Kingsley berhenti melebar. Tapi belum sembuh. Lelaki itu tetap menutup mata dan napasnya terdengar sangat berat.
Takut, air mata Queen menetes. Dia turun dari ranjang lalu mundur, merasa bersalah karena menyadari kematian Kingsley bukannya membuat dirinya tenang dan merasa lega. Melainkan menciptakan luka baru. Luka yang kali ini ditorehkan dirinya sendiri.
Saat langkah Queen terhenti karena punggungnya menyentuh dinding, dia menjadi lunglai dan jatuh bersimpuh di lantai. Lalu tangisnya pecah. Tangis memilukan yang menyayat hati.
***
Begitu keluar dari kamar Kingsley, sikap tenang Tristan langsung luntur. Dia menjadi panik. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan frustasi.
Sebelum Kingsley pergi mencari Queen, dia sudah melihat sendiri pengaruh luka yang dialami Queen terhadap Kingsley. Dan itu semakin parah sejak terakhir kali Queenza terluka. Sepertinya jika tidak segera mendapat darah Queen, Kingsley akan mati dalam hitungan menit.
Tristan semakin cemas. Dia sudah pernah memperingatkan Kingsley untuk tidak lagi memberikan darah pada Queenza karena sepertinya itu pemicu semakin mengerikannya ikatan di antara mereka. Tapi Kingsley tetap tidak berhenti.
Yah, Tristan tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Kingsley. Jika Emily yang berada di posisi Queenza, Tristan juga pasti akan rela menyerahkan seluruh darahnya untuk Emily, meski itu akan membunuh dirinya sendiri.
Menghela napas, Tristan berusaha bersikap tenang lalu menajamkan pendengaran. Penduduk Immorland memiliki pendengaran tajam jika mereka berusaha fokus atau saat suara yang muncul terdengar asing dan tiba-tiba. Jika tidak, pendengaran mereka akan sama seperti manusia biasa.
Sesaaat tidak ada suara apapun. Beberapa saat kemudian ingin sekali Tristan menghancurkan laptop yang dikhawatirkan Kingsley. Bisa-bisanya dia memikirkan laptop saat nyawanya ada di ujung tanduk? Jika dia mati, apa dia pikir arwahnya masih bisa main laptop?
Jengekel, Tristan tak lagi berusaha mencuri dengar. Dia hanya terus mondar-mandir di ruang tamu rumah Queen. Tapi saat mendengar isak tangis dari dalam kamar, seketika bulu kuduk Tristan meremang. Kenapa Queen menangis? Jangan bilang Kingsley sudah—
Dengan kecepatan bagai cahaya kilat, Tristan menuju kamar Kingsley lalu membuka pintunya tanpa mengetuk. Dia mengabaikan sosok Queen yang bersimpuh di lantai lalu bergegas ke ranjang, membungkuk di atas Kingsley.
"King! King, bangunlah!" seru Tristan sambil mengguncang bahu Kingsley. Wajah sang kaisar sangat pucat, membuat Tristan semakin panik.
"King, ayolah. Buka matamu! Jika tidak, aku akan membunuh Queen karena dialah yang membuatmu seperti ini," geram Tristan di atas tubuh Kingsley.
Setelah beberapa detik dan tak juga mendapat respon, jemari Tristan mengepal dan matanya terpejam rapat, menahan gejolak emosi asing yang menguasai hatinya. Lalu saat Tristan siap membalas perbuatan Queen, mendadak seseorang mendorong wajah Tristan hingga membuat menegakkan tubuh dengan kaget.
"Air matamu masuk ke hidungku, bodoh!" umpat Kingsley kesal sambil mendengus dan menggosok hidungnya seraya bangkit duduk. Yang benar saja. Air mata Tristan jatuh ke celah antara bibir dan lubang hidung lalu mengalir masuk ke hidung.
"Oh, benarkah? Padahal aku tidak menangis. Tapi aku agak pilek karena beberapa hari lalu kehujanan bersama Emily."
Seketika Kingsley membeku. Lalu detik berikutnya dia sudah melesat keluar kamar menuju kamar mandi sambil mengeluarkan suara seperti mual.
Tristan hanya angkat bahu. Sepertinya Kingsley lupa kalau makhluk Imorland tidak bisa sakit seperti manusia. Lalu ia berbalik memeriksa keadaan Queen yang baru disadarinya dalam kondisi pingsan. Buru-buru dia mengangkat Queen dan memindahkannya ke ranjang.
------------------------
~~>> Aya Emily <<~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingsley & Queenza
FantasyWARNING : Cerita ini memiliki efek ketagihan. Sekali baca gak akan bisa berhenti sampai berharap gak pernah tamat. Gak percaya, buktiin aja. ------------------------ Manis. Darahnya sungguh lezat. Itu adalah hal pertama yang dipikirkan Kingsley begi...