3b

229K 22.6K 2.7K
                                    

Kamis (15.06), 11 Oktober 2018

----------------------

Isak pelan itu menembus pendengaran Kingsley yang tajam. Dalam satu kedipan mata, dia yang sebelumnya masih berbaring di ranjang Queenza sudah membuka pintu kamar, berdiri di belakang gadis yang tengah menangis pelan sambil bersimpuh di depan pintu kamar.

Ragu, Kingsley berjongkok di samping Queenza. Dia seolah bisa merasakan rasa sakit yang mendera hati gadis itu. Membuatnya tercekat dan sesak.

"Ada apa?" tanya Kingsley pelan.

Bukannya menjawab, Queenza menangis semakin keras. Tubuhnya sampai berguncang pelan.

Lagi-lagi dengan gerakan ragu, Kingsley menarik kepala Queenza lalu ia sandarkan ke dadanya yang keras. Beruntung gadis itu tidak menolak. Kingsley pasti akan salah tingkah jika Queenza mendorongnya menjauh. Dia tidak pernah menghibur seseorang. Biasanya, Queenza lah yang selalu menghiburnya.

Seperti saat Kingsley berduka akibat kehilangan ibunya dengan cara keji.

Tidak ada salahnya berbagi cerita. Itu akan mengurangi rasa sakit di dadamu.

Itu adalah kata-kata yang Queenza ucapkan padanya. Apa boleh dirinya meniru kata itu untuk menghibur Queenza saat ini?

"Hmm, Queenza. Seseorang pernah berkata padaku, 'Tidak ada salahnya berbagi cerita. Itu akan mengurangi rasa sakit di dadamu.' Mungkin kau juga bisa mencoba mengurangi rasa sakit di dadamu dengan bercerita padaku. Mungkin aku tidak bisa memberimu jalan keluar. Tapi setidaknya kau tidak akan menanggung beban kesedihan seorang diri."

Di luar dugaan, Queenza melingkarkan kedua lengannya di tubuh Kingsley, bersandar sepenuhnya pada makhluk menyeramkan yang harusnya dia takuti. "Aku-aku merindukan Ibu dan Ayahku. Rasanya aku masih tidak percaya bahwa mereka sudah pergi jauh dariku."

Kingsley langsung mengerti. Ternyata tidak jauh beda dengan kondisi Kingsley dulu. Satu-satunya masa di mana dia menunjukkan isi hatinya yang paling rapuh. "Berhenti menangisi mereka. Mereka pasti sedih melihatmu seperti ini. Tetap lanjutkan hidupmu dan buat mereka merasa bangga di surga sana." Lagi-lagi itu adalah kata-kata Queenza yang ditirunya. Dia bahkan masih ingat jelas saat jemari lembut Queenza membelai kepalanya yang tengah berbaring di pangkuan gadis itu sementara sang gadis melontarkan kata-kata penghibur.

Ya, gadis.

Saat itu Queenza masih berusia dua belas tahun sementara Kingsley berusia empat belas tahun. Usia yang masih sangat muda namun sudah tak terhitung berapa nyawa yang Kingsley habisi dengan tangannya. Dia membantai orang-orang yang telah membakar hidup-hidup sang ibu di hadapannya.

Queenza menekan wajahnya ke dada Kingsley untuk meredam isak tangisnya yang semakin keras.

Yakin Queenza tidak akan mengatakan apapun atau beranjak dari lantai, Kingsley menarik lembut gadis itu agar berdiri lalu membopongnya menuju sofa yang menghadap tv. Dia duduk di atas sofa itu dan mendudukkan Queenza di atas pangkuannya.

"Jangan mengeluh bokongmu sakit karena duduk di atas pahaku. Aku sudah cukup berbaik hati saat ini."

Queenza mengabaikan ucapan Kingsley yang mungkin bermaksud menghiburnya. Kedua tangannya masih melingkari tubuh tengkorak Kingsley yang untungnya masih mengenakan kemeja tanpa jaket.

Kingsley menepuk-nepuk lembut punggung Queenza seraya menatap penasaran pada benda berbentuk persegi panjang warna hitam beberapa meter di depan mereka.

Cukup lama mereka duduk dalam posisi itu. Perlahan tangis Queenza mulai reda namun dia masih enggan menjauhkan wajah dari dada Kingsley. Rasanya nyaman bisa bersandar pada seseorang yang lebih tangguh darinya saat ia berada di titik terbawah dalam hidupnya.

Kingsley & QueenzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang