Sabtu (00.09), 13 Maret 2021
Udah masuk sabtu ternyata :D
Nanggung banget bab ini. Mau dijadiin satu sm bab 43 tp kepanjangan -_- jadi cuma dikit-dikit sampai epilog entar.
Happy reading!
----------------------
"Ayah."
Sejenak Thane menyipitkan mata memperhatikan wanita yang baru memasuki aula istana. Dan begitu wanita itu berdiri di hadapannya dengan senyum yang tampak asing sekaligus familiar, sontak Thane menyeringai.
"Akhirnya cangkang lemah itu hancur juga," nada Thane terdengar puas. "Jadi, kau berhasil menyelesaikan tugas pertamamu, kan?"
"Maksud Ayah, Kenzie?"
"Memangnya siapa lagi?"
Raut bersalah tampak menghiasi wajah Myria meski tak ada lagi sorot takut dalam matanya. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang dulu.
"Maaf, Ayah. Aku kehilangan jejak mereka."
Mata Thane menyipit tak senang. "Apa para nephium itu berbalik melawan?"
"Tidak. Hanya saja..."
Plak!
Hanya dengan satu kibasan tangan, Myria yang berjarak beberapa meter di depan Thane meringis dengan kepala tertoleh ke samping seperti baru saja mendapat tamparan. Namun ekspresi rasa sakit itu hanya sejenak mewarnai wajahnya. Detik berikutnya Myria sudah kembali menghadap Thane dengan sorot mata tanpa ekspresi namun raut wajahnya terlihat amat menyesal karena telah gagal memenuhi perintah sang ayah.
"Lemah! Bahkan dengan setengah jiwaku dalam tubuhmu, kau masih saja lemah." Usai menggeram marah, Thane mengerutkan kening dengan bibir menipis sementara jemarinya refleks terangkat mneyentuh dada. Padahal sudah tiga hari berlalu sejak dirinya terkena serangan kekuatannya sendiri gara-gara Queenza yang membalikkan serangannya. Tapi rasa sakitnya belum juga hilang.
"Maafkan aku, ayah."
Thane mendengus namun menahan lidahnya untuk melemparkan kata-kata kasar seperti yang biasa dia lontarkan pada Myria yang lemah. Percuma dia marah pada Myria yang ini. Wanita di depannya tak akan merasakan emosi apapun. Bahkan penyesalan yang tampak dalam raut wajahnya hanya di permukaan.
"Sebaiknya kau temui Allura. Kondisinya tidak membaik setelah terkena panah beracunnya sendiri."
Kening Myria berkerut. "Bagaimana bisa?"
"Tanyakan sendiri saja padanya."
Myria tak langsung beranjak. Matanya memindai kondisi Thane yang juga tampak menahan sakit. "Ayah juga tampaknya terluka."
"Cepat pergi dari hadapanku sebelum kurobek mulutmu."
Thane tidak mengatakan itu dengan nada tinggi. Dia bahkan memejamkan mata dengan punggung bersandar di kursi singgasana. Namun Myria tahu betul, sikap Thane yang demikian lebih berbahaya daripada saat dia meluapkan kemarahannya.
"Baik, Ayah," gumam Myria pelan sebelum berbalik lalu menghilang dari aula.
Sepeninggal Myria, kelopak mata Thane kembali terangkat menampakkan mata merahnya.
Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya saat ini. Tapi semuanya terpusat pada Kingsley dan Queenza. Lihat saja dirinya sekarang. Dia terluka cukup parah hanya dengan satu serangan—ah, tidak. Itu tidak bisa dibilang serangan. Queenza bahkan tak melakukan apapun. Dirinya yang menyerang dan dirinya pula yang terluka. Bukankah itu berarti saat ini Queenza bisa menghabisinya dengan mudah, kan? Tapi kenapa wanita itu hanya diam saja. Dia bahkan tak berusaha melepaskan diri dari penjar. Hanya anak buahnya yang terus terlihat gusar. Jadi apa sebenarnya yang dia rencanakan? Lebih tepatnya, apa yang sedang "mereka" rencanakan?
Jemari Thane mengepal seiring pikirannya yang kian kalut karena tak menemukan jawaban. Sial! Bahkan setelah matipun Kingsley masih menghantuinya. Sama seperti dulu. Bukannya tenang setelah Queenza berhasil membuat Kingsley tertidur panjang, tapi Thane selalu dikuasai perasaan tak tenang. Khawatir sewaktu-waktu mendadak Kingsley ada di hadapannya, menjadi malaikat pencabut nyawa.
Cukup lama Thane masih duduk diam di sana lalu mendadak dia berseru memanggil salah satu orang kepercayaannya selain Allura.
"Mulai besok, eksekusi semua tahanan. Kau atur sendiri berapa orang perhari yang dieksekusi. Tidak perlu pilih-pilih yang mana dulu. Lemat atau kuat dan terserah dari kaum mana. Jika dia penghuni sel tahanan kita, eksekusi saja."
Sejenak lelaki di hadapan Thane tampak mengerutkan kening dan ingin menanyakan sesuatu. Dia ingat betul baru dua hari lalu Thane memintanya memilah para tahanan. Memilih siapa yang biasa dijadikan kawan atau lawan. Tapi ingat bagaimana Thane paling benci jika perintahnya dipertanyakan, dia pun mengurungkan niat dan memilih mengiyakan perintah Thane.
Saat dirinya kembali sendirian, Thane turun dari singgasana lalu berdiri menghadap dinding kaca yang menampakkan taman istana yang tampak megah dan indah dengan rintik hujan yang tengah mengguyur.
Lagi-lagi pikiran Thane berkelana memikirkan musuh besarnya.
Tak peduli apapun rencana kedua orang itu. Dirinya tidak akan duduk diam menunggu badai datang. Dia akan membabat habis semua yang berpotensi menjadi ancaman. Walau Queenza tidak bisa dibunuh, bukan berarti orang-orang di sekitarnya tidak bisa dibunuh juga.
***
"Hai,"
Refleks semua yang ada di dalam ruang tahanan menoleh ke arah si penyapa yang ternyata adalah Myria Wanita itu tampak tak terpengaruh dengan tatapan marah para lelaki itu dan hanya fokus pada Queenza yang menatapnya dingin.
"Kudengar kau sama sepertiku, ya?" Myria sama sekali tak merasa perlu menyembunyikan identitasnya. "Sama-sama wadah."
Sama seperti tadi, Queenza hanya menatap datar tanpa menanggapi.
Melihat sikap dingin Queenza, Myria tekekeh. "Seharusnya kau memohon padaku agar aku membantumu membebaskan anak buahmu dan menyelamatkan mereka dari hukuman. Percuma bersikap sombong dan penuh harga diri. Itu tidak akan bisa menyelamatkan orang-orangmu."
"Apa yang kau bicarakan?"
Pertanyaan itu bukan berasal dari Queenza. Melainkan dari Tristan yang sudah berdiri berhadapan dengan Myria dengan jeruji besi sebagai pemisah.
"Ups, kalian belum tahu ya? Ayah sudah menurunkan perintah untuk membunuh para tahanan. Seharusnya sudah dua hari lalu dimulai eksekusinya. Tapi terjadi beberapa kekacauan hingga terpaksa baru bisa dimulai hari ini. Kalian tidak mau menonton? Ada dua puluh orang yang sudah bersiap mendapat hukuman. Andai aku boleh menjadi eksekutornya."
"Kau pasti hanya mengarang cerita," geram Tristan.
Myria tergelak. "Percaya atau tidak, itu urusanmu. Yang Penting sudah kukatakan." Sejenak Myria masih beradu pandang dengan Queenza. Namun yang dia dapat hanya tatapan dingin yang sama. "Sebaiknya aku pergi. Aku hanya datang untuk menyapa. Dah..."
"Yang Mulia Ratu," Tristan menjadi orang pertama yang memecahkan keheningan usai kepergian Myria. "Kita tidak bisa hanya diam dan membiarkan mereka dibunuh."
"Apa itu pertanyaan?"
Bibir Tristan menipis kesal. "Kau tidak akan melakukan sesuatu?"
"Memangnya apa yang bisa kulakukan dari balik jeruji besi?"
"Kau akan membiarkan pengikutmu mati begitu saja?"
Tanggapan yang didapat Tristan membuatnya melongo tak percaya. Queenza tak mengatakan sesuatu. Dia hanya mengangkat kedua bahunya dengan sikap tak peduli.
"Queen! Mereka orang-orangmu!"
"Lalu?"
Jemari Tristan mengepal kuat. Meski Queen tidak pernah mau mengakui bahwa ada jiwa Kingsley dalam dirinya, tapi Tristan yakin sekali bahwa dugaannya benar. Karena hanya Kingsley yang bisa tetap bersikap menyebalkan dalam situasi paling kritis sekalipun.
-------------------------------
~~>> Aya Emily <<~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingsley & Queenza
FantasíaWARNING : Cerita ini memiliki efek ketagihan. Sekali baca gak akan bisa berhenti sampai berharap gak pernah tamat. Gak percaya, buktiin aja. ------------------------ Manis. Darahnya sungguh lezat. Itu adalah hal pertama yang dipikirkan Kingsley begi...