Arsen dan Julian pulang lebih dulu melewati lobby sekolah dan ditatap tajam oleh beberapa guru disana. Seperti tatapan benci dan kecanggungan. Sedangkan Julian hanya bisa menyapu punggung Arsen agar terus bersabar dan menahan amarahnya.
Seiring dua orang guru kelas sepuluh disana mencetus, "Oh, ini ya, Bu, pasangan yang bikin malu sekolah kita?"
Guru satunya lagi membenarkan, "Iya, Bu! Aduh, padahal Bakti Perwira ini sekolah papan atas loh, tapi kok bisa ya, murid-muridnya simpatik sama hal-hal menjijikan yang mereka lakukan seperti itu" timpal guru satunya lagi.
Arsen melepas kasar tangan Julian dari pundaknya. Lalu menghampiri dua guru tersebut. "Eh, Bu! Saya sebelumnya gak pernah ya, berniat ngomel-ngomelin orang tua seperti ini, apalagi emak-emak! Tapi saya gak akan segan-segan untuk ngelakuinnya bahkan jika harus me-nam-par mulut orang yang menyindir saya!" cetus Arsen.
"Loh, siapa yang nyindir kamu? Emangnya kalian merasa sekali ya, dengan sindiran saya???" cetus salah satu guru tersebut.
"Oh, jelas, Bu! Saya sangat merasa dengan jelas, karena disini gak ada orang lain selain saya dan Julian!!!" cetus Arsen.
"Yang disindirkan sama Bu Anggrek itu bukan hanya sekedar sindiran. Tapi fakta, kan? Kenapa harus marah kalau kenyatannya benar???" bela Bu Tuti.
"Lagian, nyatanya juga toh kalian telah melakukan dosa di sekolah ini!" cetus Bu Anggrek lagi.
"Eh, diem ya lo!!! Tau apa lo tentang dosa??? Jangan merasa sok suci lo!!! Lo kalo bukan perempuan, udah gue gampar lo!!!" teriak Arsen menjadi-jadi.
Julian melotot sambil menahan tubuh Arsen yang merontak-rontak. Dia baru kali ini melihat Arsen seberontak ini. "Arsen... Arsen... udah!!! Tenang, Sen!!!"
"Kamu jangan macem-macem ya sama saya!!! Berani kamu sama saya???" teriak Bu Anggrek.
"GUE GAK TAKUT SAMA LU, KENAPA????" teriak Arsen.
Sejurus Julian mencetus, "Bu bu!!! Udah bu!!! Tolong jangan di pancing pancing!!! Ayah Arsen ini donatur terbesar disini, Bu! Saya gak tau apa yang akan terjadi nanti kalau Ayah Arsen sampe tau, anaknya telah Ibu hina-hina seperti ini!" cetus Julian
Kedua guru tersebut tertegun dan saling berpandangan. Mereka kemudian pergi meninggalkan lobby tersebut.
"WOY!!! MAU KEMANA LO??? JANGAN LARI LU!!!" cetus Arsen.
"Arsen tenang Arsen! Dia guru! Orang tua kita di sekolah!!!" cetus Julian.
"HAHHH!!!" Arsen melepas tangan Julian dari tubuhnya dengan kasar. "Bang!!! Kalo dia orang tua kita di sekolah, harusnya menjadi teladan yang baik di sekolah! Bukannya malah menyindir-nyindir kita dan hina-hina kita, Bang!!! Pikir!!!"
Julian tertegun dan menundukkan kepalanya. Diamnya menyatakan bahwa dia mengaku salah. "Maaf, Sen"
Arsen ternganga ketika dia menyadari bahwa kalimatnya pada Julian barusan amatlah keterlaluan. Dia sadar bahwa tak seharusnya dia berujar seperti itu pada Julian. "B-Bang Yayan maafin Arsen! Arsen gak maksud kasar sama Bang Yayan! Arsen..."
Julian tersenyum seketika, "Udah gapapa. Gue tau lu cuma emosi kok!"
"Bang... Maaf... Maafin Arsen banget ya, Bang!"
"Iya udah ah! Gausah dipikirin lagi ya!"
Arsen mengangguk.
"Yaudah yuk, cabut!"
"Iyah!"
~
Malam harinya, Julian mengantarkan segelas susu coklat hangat ke dalam kamar Arsen yang juga menjadi tempat tidurnya kini.
Seiring Arsen tersenyum lebar penuh keharuan atas sikap Julian yang kini lebih romantis dan perhatian. "Pake repot-repot segala, Bang?" tanya Arsen dengan senyumannya.
Julian membawa segelas susu itu dengan hati-hati. "Iyah"
"Ati-ati, Bang! Bisa gak, bawanya?" tanya Arsen, "Panas ya?"
Julian tak menjawab, dia hanya fokus pada segelas susu di tangannya. Sejurus dia pun menaruh nampan tersebut di meja dekat ranjang Arsen. "Di minum ya, Sen!"
"Makasih Abang Yayaaaaaann!!! Arsen mau peluk!" Arsen membuka tangannya lebar-lebar.
Seiring Julian pun turut menerima pelukan hangat dari Arsen tersebut sambil menciumi leher Arsen dengan lembut.
"Bang Yayan..." panggil Arsen pelan.
"Hmm???"
Pelukan mereka terlepas perlahan, seiring keberanian Arsen untuk bertanya pada Julian. "Bang Yayan... apa gak kangen sama Ambu???"
Mendengar itu, Julian tertegun seketika. Pandangannya menyepi pada lantai. Dia bingung sekaligus terbelenggu juga.
Arsen melanjutkan lagi, "Apa... Bang Yayan gak mau pulang sebentar, untuk liat Ambu di rumah???"
Julian kemudian menggeleng kuat.
"Kenapa, Bang?"
"Gue gak mau ketemu Ambu dulu. Kalaupun gue pulang, apa dia akan berubah? Paling juga, yang ada gue dikurung lagi. Mungkin lebih parah. Ambu keras kepala, Sen!" ujar Julian.
"Tapi yang namanya batu, gak boleh di lawan sama batu kan, Bang??? Nanti jadinya apa? Percikan api. Percikan api itu lah yang jadi masalah baru dan besarnya, Bang! Liat Arsen dong, bisa kan mecahin kerasnya Bang Yayan! Itu contohnya, Bang! Cepat atau lambat, Ambu pasti akan luluh kalau kitanya juga memperlakukan dia dengan baik" ujar Arsen.
Julian terbeku seketika, "Lo... keganggu yah, sama kehadiran gue disini?"
"Loh, kok keganggu sih, Arsen cuma gak mau kita itu lari dari masalah, Bang! Nantinya kayak Arsen sama Caleb dulu. Malah membesar masalahnya, kan?" cetud Arsen.
Julian masih diam, tak bersuara. Sampai kemudian, "Oke! Gue akan pulang, tapi setelah urusan kita di sekolah bener-bener selesai, oke? Paling enggak, gue punya alasan baru untuk meyakinkan hati Ambu!"
Arsen manggut-manggut. "Iya, Bang!"
~
"Arsen mana? Sudah tidur di kamar, kan???" tanya Arkan pada Robert, begitu dia sudah tiba di rumahnya pukul satu pagi. Rumah itu terasa sangat sepi dan lengang karena tidak ada suara apapun disana, hanya hembusan nafas dan langkah kaki kecil dari Arkan dan Robert.
"Sudah, Tuan!" jawab Robert sambil membantu melepas jas hitam Arkan dan menaruhnya di kepala kursi di meja makan. "Tapi ada Mas Julian juga disana"
"Oh, Julian menginap disini?" tanya Arkan.
Robert manggut-manggut. "Dia kabur dari rumahnya, Tuan"
"Kabur???" ulang Arkan.
Robert mengangguk. "Saking terlalu cintanya dia dengan Tuan Muda, dia rela meninggalkan Neneknya di rumah"
Arkan tertegun seketika. "Besar sekali cinta Julian pada anak saya" Arkan kemudian berujar lagi, "Kita bahas malam ini juga, Robert!"
"Tuan tidak mau langsung istirahat saja?" tanya Robert.
Arkan menggeleng. "Saya mau kopi, Robert!"
"Baik, Tuan. Akan saya panggilkan Salamah. Sebentar..."
"Saya mau kamu yang buat!" cetus Arkan seketika.
Jantung Robert berdegup cepat oleh ucapan Arkan barusan. Dia tersenyum kecil sembari menahan rasa gemuruh yang ada pada hatinya.
"Mau kan, kamu membuatkan saya secangkir kopi?" tanya Arkan.
Robert mengangguk dalam senyumnya. "Akan saya buatkan, Tuan. Sebentar ya..." Robert melangkahkan kakinya ke dapur dengan gemetar.
Sedangkan Arkan tersenyum nakal sambil geleng-geleng oleh sikap Robert yang terlihat menahan dirinya sendiri agar tak terlihat canggung dan salah tingkah.
TO BE CONTINUED...
KAMU SEDANG MEMBACA
STUCK ON YOU (END 18+)
Teen FictionWARNING : LGBT CONTENT!!! (18+) HOMOPHOBIC START TO RUN OUT OF THIS READS. THANKS. (Baik Nama tokoh, tempat, alur, keseluruhan cerita, semuanya hanyalah fiktif belaka. Mengandung kalimat kasar dan tidak di anjurkan untuk di baca oleh usia dibawah 18...