Apa yang Velin temui di lorong rumah sakit adalah hal baru. Dia tidak pernah melihat pemandangan tersebut seumur hidupnya saat mengenal tiga lelaki yang seperti kembar siam.Di sana, Ben sedang menahan Athan yang berada di atas tubuh Dipta. Tiga orang perawat laki-laki juga ikut menahan tubuh besar Athan dan menjauhkan Dipta sejauh mungkin dari jangkauan.
Velin mendekat, semakin jelas melihat wajah Dipta yang babak belur tanpa bentuk. Bahkan, satu matanya terlihat sangat bengkak tertutup. Darah memenuhi kaos hijaunya.
Dipta yang dikenalnya sebagai lelaki penuh senyum jenaka dsn lebih tenang daripada Ben yang selalu terlihat agresif saat ini berubah menjadi Dipta yang mengenaskan.
"Ada apa dengan kalian?" Ungkap Velin berdiri di tengah-tengah memandangi tiga orang yang terlihat kacau itu.
Karena tidak mendapati jawaban, akhirnya Velin memilih mendekati Ben yang berdiri di depan Athan, seakan menjaga kalau lelaki itu bisa saja mengamuk lagi, "gimana Dita?"
Wajah Ben terlihat kacau—lebih mendominasi pada gelisah, "masih di dalam." Jawabnya pelan.
Velin mengangguk pelan dan matanya beralih pada Athan yang bersender di dinding seraya menutup setengah wajahnya dengan tangan.
Sejujurnya, melihat Athan sekarang, ada rasa yang tidak bisa dijelaskan. Ada rindu pastinya, tapi bukan di waktu yang tepat. Ada juga khawatir karena lelaki itu terlihat berantakan dan kelelahan. Ada juga marah, karena selama ini lelaki itu menghilang tak memberinya kabar sekalipun.
Untuk yang terakhir, Velin tersentak sadar. Dia mengingat kejadi yang membuatnya terpisah dari kekasihnya sendiri.
Akhirnya, Velin memilih duduk di kursi besi. Matanya menatap nanar kearah pintu UGD. Dia belum tahu apa yang terjadi karena ketiga lelaki itu tidak ada yang menjelaskan. Bertanya juga sepertinya belum waktu yang tepat. Yang terpenting adalah kondisi Dita sekarang.
Heran sebenarnya, apa lagi melihat Dipta yang babak belur oleh Athan. Dia bisa menebak sedikit sebenarnya. Keguguran-rumah sakit-Dipta babak belur. Pasti ada sesuatu yang terjadi antara Dita dan Dipta.
Velin mengingat terakhir kali pertemuannya dengan Dita. Perempuan berdarah cina-palembang itu memintanya untuk bahagia dan jangan mengkhawatirkan dirinya terlebih dahulu. Velin tahu apa yang dia maksud, tentu saja Velin harus fokus menata hidupnya, bukan kehidupan rumit Dita.
Selama ini, kehidupan seorang Anindita Lieng tidak sama seperti kehidupan perempuan lainnya. Hidup dari keluarga yang tidak harmonis, lalu pergi tinggal bersama sang Paman dan Neneknya di Jakarta sedari kecil.
Bertemu dengan Athan, Dipta, dan Ben tentu seperti mukjizat untuknya. Tiga lelaki tampan yang selalu memberinya tempat berlindung dari hujan dan panas. Athan yang paling tua dari mereka memberikan kehangatan dan kenyamanan lebih dari seorang sahabat, di mata Dita, lelaki itu adalah Ayahnya. Lalu ada Ben, si lelaki ceria yang selalu punya kata-kata manis untuk menggoda dan mencairkan suasana namun selalu posesif padanya sudah dia anggap seperti seorang Abang walaupun pada nyatanya Ben yang paling muda dsri mereka. Dan terakhir ada Dipta, lelaki yang memiliki pesona luar biasa di mata Dita. Dia begitu memuja Dipta, anak lelaki yang begitu menyayangi Ibunya sendiri. Satu dari banyak hal yang membuat Dita bisa bertindak bodoh sebagai simpanan lelaki itu. Dengan Dipta, dia bisa merasakan cinta, tapi tanpa kepastian.
Dita tidak pernah mengenal cinta selain dari tiga lelaki itu. Dan bertemu Velin, dia merasakan ikatan persaudaraan antar perempuan yang membuat mereka berdua begitu dekat.
Seharusnya Dita merasa sempurna saat ini. Di buang oleh orangtuanya membuat dia mendapati kebahagiaan berkali lipat. Tapi, Dita lupa—kebahagiaan yang dia dapatkan juga sebagian dari menyakiti orang lain.