Aku memasang kembali kancing kemejaku dengan cepat. Mataku melirik lagi jarum jam di dinding kamar hotel. Sialan, sudah jam 1 malam. Sepertinya aku terlalu lama istirahat. Dengan segera aku mengambil tasku dari kursi sofa bersamaan dengan pintu kamar mandi yang terbuka."Kamu mau pergi?" Pria berumur 45 tahun itu menatapku heran.
Aku mengangguk canggung sambil memperhatikan bayanganku dari cermin, "sudah jam 1. Aku harus buru-buru pulang." Kataku tegas.
Dia menggelengkan kepalanya dan memilih duduk dipinggir ranjang. Aku melirik ranjang itu, bukti dari pergumulan panas antara aku dan dia.
"Kalau menghabiskan waktu denganku harusnya kamu pastikan tetap bersamaku sampai pagi datang." Sindirnya.
Aku tersenyum tipis dan bergerak mendekatinya. Dengan lembut ku belai sisi wajahnya yang ditumbuhi bulu halus, "Maaf ya, Mas. Lain kali."
Dia menghembuskan nafasnya berat, "hati-hati di jalan."
Aku mengangguk dan memberikan ciuman perpisahan dibibirnya yang tipis.
Sepanjang perjalanan aku tidak henti-hentinya berharap tidak ada yang menungguku dirumah. Aku tidak mau berbohong. Karena hampir setahun ini aku harus mencari alasan kenapa aku terus-terusan pulang tengah malam.
Tapi, saat aku memakirkan mobil di garasi dan mendongkak melihat jendela kamar menyala langsung membuatku dilanda kegugupan. Dengan langkah berat akhirnya aku memasuki rumah yang sudah aku tempati selama 4 tahun ini.
Ruang tamu dan ruang keluarga tampak sepi. Maka dari itu alu langsung naik ke lantai 2. Kamar ternyata kosong. Tapi, suara keran yang baru manyala menampik kalau di dalam kamar ini tidak ada orang.
Aku menghela nafas dan mulai membuka kemejaku. Pintu kamar mandi terbuka. Di sana berdiri Raja yang sedang mengusap perutnya. Dia menatapku kaget.
"Kamu baru pulang?!" Tanyanya dengan nada jengkel.
Aku tersenyum polos memperlihatkan deretan gigiku, "Maaf, Mas. Aku ada lembur." Bohong. Aku berbohong lagi.
Dia mendesah kasar, "Kamu kalo lembur kira-kira dong! Mana ada perempuan lembur sampai dini hari gini?!"
Aku mendekatinya dan mengusap bahu lebarnya, "Ya, projek besar, Mas. Maklum lah kalau sampai jam segini. Lagian, yang lembur banyak kok. Bukan cuman aku."
"Far, tapi ini sudah nggak wajar! Satu tahun loh kamu lembur pulang malam. Kao kamu lupa, kamu sudah menikah." Aku tersentak saat dia mengingatkan apa status kami.
Dalam hati aku tersenyum getir. Menikah. Benar, aku adalah seorang istri.
"Maaf. Ini projek terakhir yang bikin aku lembur terus. Aku janji, selesai ini nggak ada lembur-lembur kayak gini. Janji!" Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya dan bersender di dadanya. Aku tidak mampu melihat mata marahnya.
"Aku tahu kalau waktuku ke kamu juga sedikit akhir-akhir ini. Tapi, aku kan cari nafkah buat kamu. Dan sebagai suami aku nggak suka istriku pulang larut malam seperti ini. Apa uangku kurang menghidupi kamu? Atau kamu kurang puas dengan posisi kamu di kantor?"
Aku menggeleng menyanggah semua pertanyaannya. Karena dari pertanyaan itu tidak akan ada jawabannya. Seharusnya, Dengan siapa kamu menghabiskan malam, Fara?
"Mas, maaf kalau sibukku malah menyulitkan seperti ini. Aku janji ini terakhir kalinya..." lirihku semakin memeluknya erat.
Sesak rasanya. Suamiku sendiri berpikir aku gila pekerjaan. Pada nyatanya, istri yang selalu dia banggakan ini wanita gila. Tidak puas dengan kehidupannya yang nyaris sempurna.