The Emerald: Dion

16K 1.6K 377
                                    

Aku menarik nafas saat dihadapkan dua foto di atas meja. Sebuah keputusan besar untuk memilih salah satu diantaranya.

Ini bukan perkara main-main. Ini sebuah pernikahan.

Di mana aku akan menjalaninya seumur hidupku.

Dengan menarik nafas panjang aku kembali memperhatikan dua foto tersebut.

"Papa suka si sulung Purwija. Enerjik, pintar, dan yang pasti dia selalu memukau."

Aku melirik Papa yang duduk disebrangku sedang menatap lapangan golf.

Sabtu pagi seperti biasa, aku dan beliau yang memiliki kegemaran yang sama akan berakhir di sini.

Aku kembali menatap dua foto itu.

Di sisi kiri, ada perempuan yang tak asing untuk aku kenali.

Dia Silviana Purwija.

Dia terhitung masih baru masuk ke dalam perusahaan keluarga. Meski begitu, dia sudah mendapatkan banyak pengakuan.

Dia cantik. Semua akan menyetujui bagaimana fisiknya yang mendekati sempurna.

Beberapa kali aku melihatnya di pertemuan penting. Meski tak berbicara langsung dengannya, aku seperti bisa mengenali seperti apa dirinya.

Di foto yang kedua, dia manis. Sangat manis ditambah lesung di pipi kirinya. Rambutnya lebih panjang daripada rambut Silviana.

Matanya terlihat tenang dan menyejukkan di dalam foto ini. Hingga entah bagaimana caranya tangan ini malah terulur menarik foto itu untuk semakin dekat.

"Putri kesayangan Purwija." Kata Papa lagi, "si tua bangka Husein itu selalu menutupi keberadaan putri bontotnya."

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Ya, karena dia kesayangan. Nggak ada hentinya dia ceritain putrinya itu setiap kami kumpul bersama."

Papa dan Husein Purwija memang cukup dekat. Sebulan sekali mereka akan berkumpul bersama dengan sahabat lainnya.

"Siapa namanya?"

"Emerald. Emerald Purwija. Kamu tertarik?"

Aku kembali diam. Menatap lekat pada secarik foto di tanganku.

"Emerald." Bisikku.

Meski wajahnya tak semenarik Silviana jika dibandingkan, tapi hatiku lebih tertarik mengenal perempuan ini.

Seperti ada sesuatu yang menarik minatku padanya.

***

Seminggu setelah aku mengatakan kalau perempuan itu yang aku inginkan, Papa langsung mengatur waktu pertemuan kami berdua.

Awalnya Papa tak setuju, karena baginya perempuan yang lainnya masih lebih baik daripada dia. Tapi, perempuan pilihanku ada di opsi yang ia berikan. Jadi Papa tidak bisa berbuat banyak selain mengangguk pasrah.

Lagi pula, apa yang lebih buruk dari pernikahan ini?

"Mas Dion?"

Aku mendongak.

Itu dia.

Berdiri canggung, hanya memakai kemeja satin berwarna cokelat dan celana bahan panjang.

Sekilas dia seperti perempuan kantoran kekinian di daerah SCBD. Namun, melihatnya tanpa riasan wajah juga tatanan rambut yang agak berantakan dengan ikatan yang longgar menandakan dia bukan perempuan metropolitan seperti biasanya.

Apa lagi saat menatap totebag besar yang terlihat sangat amat tidak serasi dengan pakaian yang dia gunakan bertengger di bahunya.

"Mas Dion kan?"

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang