Anala baru saja keluar dari pintu kaca yang bergeser. Matanya menyapu keadaan bandara Soekarno-Hatta yang ramai walaupun hari sudah gelap. Di belakangnya Tria dengan setia membawa barang-barang mereka.Beberapa hari lalu, Anala memutuskan untuk pulang lebih cepat, padahal masih ada sisa lima hari lagi untuk dirinya menetap di kota Paris.
Ada tekad yang terbakar di dalam hatinya. Penghinaan yang terulang kembali, membabat habis batas kesabarannya. Dan kali ini, Anala memastikan dirinya sendiri yang melihat langsung wajah pias orang-orang yang menghinanya.
"Kita pulang ke apartement." Ucap Anala saat sudah duduk di dalam mobil.
Tidak ada yang mengetahui kepulangan Anala kecuali Harry dan Maria ibu Dean. Dia sengaja melakukan itu untuk memberi kejutan.
Mobil berjalan ke arah setia budi, di mana Anala memiliki apartement yang dia beli dari uangnya sendiri. Dan yang mengetahui itu hanya sedikit orang.
"Saya akan kembali seperti jam biasa, Bu." Tria menaruh koper atasannya di dekat pintu kamar.
"Makasih, Tria." Tulusnya menghadap lelaki yang menemaninya hampir sebulan ini.
Bersama Tria setiap harinya membuat Anala semakin mengetahui sifat lelaki itu. Tria adalah lelaki muda yang enerjik dan cekatan. Dia jarang mengeluh tapi tidak segan menyuarakan pendapatnya. Yang Anala suka adalah Tria memiliki segudang kesabaran dan bisa membaca situasi. Dia tahu kapan dan seharusnya untuk membuka mulut di depan Anala.
"Kamu bisa pulang dan istirahat sekarang. Besok datang siang aja, kamu butuh istirahat, saya juga."
Tria seketika tersenyum cerah. Dia juga tidak yakin bisa bangun pagi setelah perjalanan yang panjang. Dia butuh istirahat dan untungnya atasannya yang angkuh ini bisa memberi pengertian.
"Makasih, Bu Ana, saya permisi."
Sepeninggalan Tria, Anala langsung mandi dan duduk di sofa kamarnya. Jam masih menunjukkan 10 malam. Anala memilih untuk membuka laptopnya.
Dia membaca ulang kasus penggelapan dana yang Ayah dan Ibunya lakukan. Lalu dia membuka dana kotor yang mengalir ke rekening Paman dan Bibinya yang memiliki posisi penting di dalam perusahaan.
Anala memang ada di atas awan karena memiliki bukti-bukti kotor yang keluarga Mahardika lakukan di perusahaan. Seluruh bukti ini menjadi senjata paling ampuh untuk menekan orang-orang yang selama ini memandangnya dengan sebelah mata.
Tangan lentik itu bergerak lugas diatas ponselnya, dia mencari nomor orang yang harus menjadi pemulus jalannya.
"Halo."
"Malam, Pak Danuar."
"Siapa ini?"
"Saya Anala Mahardika."
"Anala? Mahardika? Anak bajingan itu?"
"Ya, anak bajingan itu."
"Untuk apa kamu telfon saya?! Mau ancam saya?! Jangan pikir saya takut!" Suara bentakan itu begitu keras dan penuh emosi.
Anala tersenyum tipis, jarinya yang lain membelas layar tabletnya dengan lembut seakan tablet itu adalah anaknya.
"Saya bukan musuh Pak Danuar, saya menelfon karena menawarkan... kerja sama? Dan pastinya ini menguntungkan."
"Apa maksudmu? Dengar kalo kamu mau menyelamatkan Papa kamu itu, saya nggak sudi sama sekali! Kalo saya ketemu Papa kamu nanti, saya pastiin Papa kamu mati di tangan saya."
Anala terkekeh, "gimana kalo di tangan kita Pak Danuar?"
"Apa?!"
"Saya butuh Pak Danuar untuk membuatnya keluar dari persembunyiannya. Setelah dia keluar, itu urusan Pak Danuar nanti. Tapi, izinkan saya untuk sedikit bermain dengan Papa saya."