Until Death Do Us Part

62.5K 5K 654
                                    

"Ada tumor di pankreasmu. Dan kanker sudah stadium dua."

Aku menatap nanar pada hasil CT scan yang Dewi tunjukkan padaku. Mataku menatap kosong pada gambar yang tidak mengerti, membiarkan Dewi menjelaskan panjang kali lebar dengan mata basah juga suara tergugu.

"K-kita bisa ke Singapur. Di sana a-ada pengobatan yang—"

"Jangan bilang Mas Daud." Potongku yang akhirnya berani menatap Dewi sahabatku sekaligus dokter yang menanganiku.

Dewi membekap mulutnya, suara tangis akhirnya keluar. Mungkin dia mengerti apa yang aku rasakan. Mungkin dia tahu apa yang aku maksudkan.

Aku tidak bisa memberitahu Mas Daud. Pria sempurna yang akhirnya mau menerimaku setelah bertahun-tahun lamanya aku mengejar cintanya.

Setelah perjuanganku...

Ternyata akhir cerita ini yang aku dapatkan.

***

"Kamu dari mana?"

Aku mendongak langsung mendapati sosok jangkung yang berjalan cepat kearahku.

Sosok ini yang memberikan banyak hal dalam hidupku. Mengajarkan aku menjadi si keras kepala yang berjuang  untuk mendapati perhatiannya.

Sosok ini yang memberikan rasa malu karena selalu mendapatkan penolakan. Rasa malu yang lama-lama mati karena sisi keras kepalaku menutupinya.

Sosok ini yang memberiku arti, jika usaha tidak mengkhianati hasil. Meski, perjuangan mendapatkannya berliku-liku karena hanya cinta bertepuk sebelah tangan.

Dan sosok ini yang akhirnya bisa memberikan apa yang aku mau. Cinta, kasih sayang, kenyamanan, dan dirinya.

Daud Ibrahim Tanudjo.

Suamiku yang aku cintai sejak sepuluh tahun lalu.

"Abis dari Dewi, Mas. Kok kamu udah pulang?" Bingungku seraya melirik jam tangan yang masih menunjukkan pukul 5 sore, harusnya suamiku ini sampai sesudah mahgrib.

"Kok nggak izin aku?"

Aku tergagap seketika. Daud tidak mengekangku selama aku memberitahunya ke mana aku pergi.

Sejak menikah, Daud menjalankan tugasnya sebagai suami dengan baik, begitupun aku.

Sikapnya yang ketus dan dingin saat dulu melihatku, sudah tidak ada semenjak dia menyadari keberadaanku.

Aku bersyukur bisa membuat hatinya memilihku, apa lagi setelah banyak air mata yang aku tumpahkan karena ingin bersanding dengannya.

Kini di depanku adalah Daud suamiku. Yang mencintaiku, sabar menghadapiku, dan mau membimbingku membangun rumah tangga ideal untuk kami berdua.

"Aku mikirnya cuman sebentar dan pulang sebelum kamu sampai rumah." Aku memberi cengiran polos saat dia mendengus.

Aku tidak berbohong soal pergi menemui Dewi, selama ini dia tahu kalau aku memang sering berkunjung ke rumah sakit bertemu Dewi sekaligus adik sepupunya Daud.

Yang tidak perlu aku beritahu adalah alasan aku bertemu Dewi.

"Tetap aja. Kamu harus izin ke aku." Tegurnya serius yang langsung aku beri anggukan.

Dengan cepat aku menyambar tangannya untuk digandeng, "Jadi, suamiku tercinta ini mau mandi dulu abis itu makan? Gimana?"

Dia masih memasang wajah masamnya. Satu eskpresi yang aku tahu jika dia masih gusar karena aku pergi tanpa izinnya.

"Aku serius soal tadi ya, Dri. Kalo kamu ke mana-mana harus izin. Aku suami kamu sekarang, tanggung jawab ada dibahu aku. Kalo kamu kenapa-napa kan—"

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang